Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024, Joko Widodo dan Ma\'ruf Amin, menyapa wartawan di kediaman Ma\'ruf Amin, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sebelum berangkat menuju Halim Perdanakusuma, Kamis (27/6/2019). Presiden Joko Widodo akan berangkat ke Jepang untuk melaksanakan kunjungan kerja.
Joko Widodo (58), pengusaha mebel, berlatar belakang orang biasa, memperoleh mandat rakyat untuk kembali memimpin Indonesia 2019-2024. Legitimasi konstitusionalnya bersama KH Ma’ruf Amin penuh setelah sembilan hakim Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Jalur kepemimpinan nasional mulai beralih. Dari proklamator (Soekarno), militer (Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono), tokoh parpol dan pergerakan (KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri), serta birokrat/teknokrat (BJ Habibie), kini Joko Widodo. Ia merintis karier kepemimpinan melalui daerah. Dari pengusaha mebel, menapak ke Wali Kota Solo (2005-2012), Gubernur Jakarta (2012- 2014), dan kini Presiden.
Philips Vermonte, di Kompas, 9 November 2018, menulis artikel bertajuk ”Kepala Daerah dan Kepemimpinan Nasional”. Tren menguatnya kepemimpinan daerah merupakan fenomena global. Otonomi daerah melahirkan model kepemimpinan baru, pemimpin bercorak penyelesai masalah, inovatif, melibatkan publik, serta mengedepankan transparansi. Preferensi pemilih mulai bergeser dari model kepemimpinan yang cenderung feodalistis, birokratis, dan priayi ke model kepemimpinan yang berkarakter urban.
Presiden Jokowi miskin dalam narasi dan gagasan. Ia bukan orator ulung yang memukau. Namun, Jokowi menunjukkan model kepemimpinan yang kuat. Jika ada kemauan, ia akan berusaha mewujudkannya. Cara kadang menjadi urusan lain. Seorang menterinya pernah berkisah. Saat mengunjungi sebuah wilayah di Papua, Presiden Jokowi berpidato, ”Bandara kok seperti kandang kambing. Tahun depan saya datang, sudah harus ada bandara baru.” Sang menteri pontang-panting mencari cara mewujudkannya dan berhasil.
Juga dengan pembangunan infrastruktur, khususnya Jalan Tol Trans-Jawa dan transportasi MRT. Gagasan itu sudah lama ada pada masa pemerintahan sebelumnya. Akan tetapi, Presiden Jokowi yang mewujudkannya.
Periode pertama pemerintahannya ditandai dengan gencarnya pembangunan infrastruktur. Di periode kedua bersama Ma’ruf Amin, Jokowi akan fokus pada sumber daya manusia. Jika boleh mengusulkan, fokuslah pada pemberantasan korupsi! Korupsi itu memiskinkan. Korupsi akan melebarkan kesenjangan sosial.
Vishnu Juwono di buku Melawan Korupsi menulis, perlawanan terhadap gerakan antikorupsi muncul dari kelompok kepentingan dan badan penegak hukum.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas persiapan KTT Asean dan KTT G20 di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (19/6/2019). Rapat terbatas ini dihadiri sejumlah menteri terkait. Presiden akan mengangkat isu ekonomi terutama perang dagang Amerika melawan China dan sampah plastik dalam kunjungan kerja KTT ASEAN serta membahas persiapan kunjungan kerja dalam KTT G20 di Osaka, Jepang.
Kondisi itu menunjukkan keseluruhan struktur sosial politik dan ekonomi masih utuh. Salah satu sumber daya utama korupsi adalah eksistensi patronasi ekonomi berkelanjutan yang membantu tokoh konservatif dan kaum oligark melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Karena itulah, mengapa KPK selalu berupaya dilemahkan!
Tren korupsi memprihatinkan. Hampir semua profesi ada perwakilannya di penjara KPK. Korupsi melibatkan keluarga. Suami dan istri, anak dan keponakan, telah menjadi aktor korupsi. Penelitian Rimawan Pradiptyo menunjukkan, dari 724 terdakwa korupsi yang diputuskan MA periode 2001-2008, menunjukkan kerugian negara Rp 67,5 triliun tetapi yang diputuskan pengadilan Rp 4,76 triliun. Kerugian negara lain ditanggung pajak.
Mencermati data KPK pada 2004-2019, jenis korupsi paling banyak penyuapan (564 kasus), dilakukan anggota DPR/DPRD (247 kasus) dan swasta (238 kasus), paling banyak terjadi di kementerian/lembaga (321), dan berdasarkan wilayah ada di pemerintah pusat. Dari data itu, seyogianya Jokowi-Ma’ruf fokus pada korupsi.
Indonesia yang bersih dari korupsi belum terwujud. Padahal, sejak tahun 1965, tepatnya 14 September 1965, Tajuk Rencana Kompas menulis, ”Soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukan pembitjaraan lagi, tapi tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!”
Jadi, korupsi bukan untuk dibicarakan lagi. Butuh keberanian politik. Butuh langkah radikal menyeleksi menteri. Pembuktian terbalik bisa diterapkan. Tanpa ada keinginan kuat memberantas korupsi, bisa muncul yang dikatakan peraih Nobel dari Kosta Rika, Oscar Arias Sanchez, ”Skandal korupsi berkepanjangan membuat rakyat frustrasi. Perlawanan muncul di sebuah negara. Partai politik yang menjadi benteng utama demokrasi sedang digoyang korupsi. Tatkala partai politik ditinggalkan, demokrasi akan lumpuh!
Energi baru Presiden dibutuhkan untuk menggenjot gerakan antikorupi seiring dengan kian letihnya kelas menengah dan media dalam agenda pemberantasan korupsi negeri ini. Di periode kedua pemerintahannya, Jokowi diyakini mampu—asal punya kemauan dan tekad—membersihkan korupsi di negeri ini. Isu korupsi lebih penting daripada pemindahan ibu kota. Sosok KPK, jaksa agung, Polri, dan hakim jadi teramat penting!
KOMPAS/FX LAKSANA AS
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono memaparkan kepada Presiden Joko Widodo tentang proyek Waduk Muara Nusa Dua di Denpasar, Bali, Jumat (14/06/2019).