Bagi FX Wibisono (68), harian Kompas bukan saja telah menghadirkan informasi yang mencerahkan dan inspiratif, melainkan juga memberi kesempatan untuk bersuara. Lewat rubrik Surat kepada Pembaca, ia sudah 17 kali menyampaikan keresahan sekaligus solusi tentang hal yang dianggapnya tidak patut terjadi.
Wibisono mulai membaca Kompas sejak 1966 saat dirinya berusia 15 tahun. Sejak kecil, di Kota Semarang, Jawa Tengah, ia dididik dengan disiplin dan religius oleh orangtuanya yang berlatar pendidikan sekolah Belanda di Semarang. Ia diizinkan membaca harian Kompas.
Kegemarannya membaca Kompas juga dipengaruhi oleh kakak-kakaknya yang senang membaca surat kabar dengan sajian yang lengkap dan komprehensif. Hal itu terus dilakukannya hingga menjadi pelanggan sendiri (bukan orangtua) setelah bekerja dan tinggal di Balikpapan, Kalimatan Timur, pada 1976.
”Tahun-tahun itu, kami menerima Kompas berkisar pukul 12.00-15.00 WITA dan menjadi bacaan sepulang dari kantor pada sore atau malam hari. Itu juga karena penerbangan pertama dari Jakarta atau Surabaya ke Balikpapan sekitar pukul 10.00 pagi,” tutur Wibisono di Semarang, Sabtu (22/6/2019).
Sejumlah rubrik di harian Kompas yang hampir tidak pernah dilewatkannya antara lain Tajuk Rencana, Surat kepada Redaksi, Internasional, Kilasan Kawat Sedunia, Profil Usaha, dan Sosok. Rubrik lain yang juga disenanginya yaitu Opini, yang menghadirkan pandangan para pakar akan satu fenomena yang terjadi.
Mengenai rubrik Sosok, ia memberi perhatian khusus. ”Sosok selalu menampilkan warga negara berprestasi, yang memberi motivasi dan semangat. Di tengah segala permasalahan yang ada di bangsa ini, ternyata masih ada orang-orang seperti yang ditampilkan di Sosok. Ini inspiratif,” ujar Wibisono.
Ia menambahkan, tulisan dari para rohaniwan ataupun tokoh nasionalis, termasuk anggota keluarga Gus Dur (Abdurrahman Wahid), sangat menarik. Begitu juga sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam rubrik Profil Usaha memberi sajian yang informatif.
Senang menulis
Wibisono, yang lama bekerja di bidang migas, mengaku senang menulis. Ia beberapa kali mengirim tulisan untuk rubrik Opini di harian Kompas, tetapi selalu dikembalikan (tidak dimuat). Ia pun menyadari belum bisa menyamai apa yang dilakukan oleh para penulis yang tulisannya dimuat di rubrik itu.
Namun, ia tetap menulis untuk rubrik Surat kepada Pembaca dan telah 17 kali dimuat. ”Yang saya tulis, sesuatu yang tidak betul. Sejak kecil, saya dididik orangtua dengan disiplin. Saya merasakan, misalnya, polisi dulu lebih berwibawa. Masyarakat juga tidak banyak melanggar aturan lalu lintas. Namun, kini justru kondisinya memburuk. Saya berusaha mengkritik itu,” tuturnya.
Salah satu contoh tulisan Wibisono yang pernah dimuat di rubrik tersebut yaitu terkait penggunaan kata ”minggat” di salah satu iklan produk di televisi. Hal itu karena produk saingannya telah menggunakan kata ”bablas”. Menurut dia, kata itu tidak pantas didengar anak-anak berulang-ulang di televisi.
Pada 2017, ia mengomentari begitu mudahnya orang membeli kartu SIM telepon seluler (ponsel) karena dapat memicu tindakan pemerasan, ancaman, dan hoaks. ”Entah kebetulan atau bagaimana. Memang saya tak bisa klaim, tetapi pada akhirnya kemudian memang dilakukan (pembatasan),” ujarnya.
Kritik untuk Kompas
Wibisono menuturkan, yang tidak disukainya di harian Kompas yaitu adanya empat halaman yang dipakai hanya untuk promosi satu produk kendaraan/properti. Juga satu atau setengah halaman penuh untuk iklan dukacita. Ia menyayangkan karena tak membawa manfaat kecuali bagi keluarga yang berduka.
Ia juga mendorong adanya kolaborasi dengan surat kabar lokal. Dengan demikian, berita daerah atau lokal di tempat pelanggan berlangganan akan lebih banyak mendapat tempat.
Menurut Wibisono, Kompas juga perlu menyediakan kolom untuk anak-anak. ”Sehingga ada keinginan dari anak-anak untuk membaca. Untuk remaja, memang sudah ada, tetapi anak-anak juga perlu. Hal seperti itu penting agar golongan milenial tidak meninggalkan Kompas. Dirgahayu Kompas,” tutupnya.