Chauw Wen masih berusia 29 tahun saat pertama kali membaca Kompas. Kini, saat umurnya sudah 80 tahun, namun dia masih setia membaca harian ini saban pagi untuk mengawali lembaran kehidupan setiap harinya.
Wen pertama kali membaca Kompas pada 1968. Saat itu, dia sedang berjalan kaki di depan penjual koran di salah satu persimpangan Jalan Sukajadi, Pasteur, Kota Bandung, Jawa Barat. Sejak saat itu, dia nyaris tak pernah alpa membacanya.
Matanya tak lagi setajam dulu untuk membaca kata demi kata. Keriput di kulitnya menggambarkan usianya yang sepuh. Namun, ia tetap dahaga untuk mendapatkan informasi penting dan kaya, yang dia temukan hanya di Kompas.
“Membaca Kompas sudah menjadi kewajiban setiap pagi. Seperti ada yang kurang kalau tidak membacanya,” ujar Wen saat ditemui di bengkelnya di Jalan Sukajadi, Sabtu (22/6/2019).
Tumpukan koran Kompas beberapa edisi diletakkan di antara onderdil atau suku cadang motor dagangannya. Di sampingnya terdapat kursi kayu tua. Di kursi itulah dia mencerna halaman demi halaman Kompas.
Wen paling tertarik dengan berita politik, internasional, dan peristiwa dari penjuru Nusantara. Menurut dia, berita politik selalu menarik karena kerap ramai diperbincangkan.
Tak jarang konstelasinya melahirkan perdebatan dan gesekan, baik di tingkat elite maupun pendukungya. “Menurut saya, pemberitaan Kompas tidak memperkeruh suasana, namun justru meneduhkan. Ini yang saya suka,” ucapnya.
Rubrik internasional juga nyaris tidak pernah ia lewatkan. Sebab, dia meyakini, situasi politik dunia akan berdampak terhadap kondisi di tanah air.
Wen menceritakan, dahulu, konflik internasional lebih menonjolkan perbedaan ideologi. Namun, saat ini, persaingannya dominan dipengaruhi perebutan kekuasaan sumber daya.
“Perkembangan isu-isu itu saya dapatkan dengan membaca Kompas. Walaupun terjadi di luar negeri, efeknya akan terasa di Indonesia,” ucapnya.
Berita dari pelosok negeri juga tak luput dari perhatiannya. Dengan membacanya, dia mengetahui peristiwa dari Aceh hingga Papua.
Menurut Wen, Kompas seperti rangkuman informasi dari seluruh daerah. “Saya jadi tidak ketinggalan informasi setiap harinya,” ujarnya.
Selain menambah wawasannya, informasi itu juga menjadi modal untuk mengobrol dengan rekan-rekan dan pelanggannya. Dengan begitu, pelanggannya tidak cepat bosan saat sepeda motornya diperbaiki.
Wen mengatakan, akses informasi saat ini berkembang sangat pesat. Dahulu, sumber informasi masih didominasi pemberitaan di koran dan radio. Namun, saat ini sumbernya bertambah melalui berbagai platform, seperti televisi, media daring, dan media sosial.
Akan tetapi, Wen mengaku tidak pernah bosan membaca koran. Selain karena kurang akrab dengan dunia internet, kebiasaan membaca koran selama 50 tahun sudah menjadi kegiatan rutin yang tak gampang ditinggalkan.
Wen mengaku pernah menularkan kebiasaan membaca koran itu kepada orang-orang terdekatnya. Namun, karena dinilai kurang praktis, banyak generasi saat ini memilih mengakses informasi lewat gawai.
Padahal, menurut dia, berita koran menawarkan kedalaman dan keutuhan informasi. Sebab, beritanya tidak mengutip fakta sepotong-sepotong sehingga lebih komplet.
Wen berharap Kompas tetap setia mewartakan berita-berita yang meneduhkan. Tetap menjaga independensi dan tidak tergoda untuk berpolitik praktis.
Di usia senja, Wen masih menjadikan Kompas teman setianya. Mencari pencerahan di tengah tsunami informasi yang menyerbu setiap waktu.(TAM)