Kebakaran yang menghanguskan 14 kapal di Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, pada Jumat malam hingga Sabtu (21-22/6/2019) menjadi alarm bagi kehidupan pesisir di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Kebakaran yang menghanguskan 14 kapal di Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, pada Jumat malam hingga Sabtu (21-22/6/2019) menjadi alarm bagi kehidupan pesisir di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tanpa pembenahan area kapal berlabuh, bukan tidak mungkin kebakaran kembali berulang menghancurkan kisah dan kehidupan pencarian orang pesisir.
Hari-hari ke depan adalah kecemasan bagi Rojani (40), nelayan Eretan Kulon. Kapal kecilnya, sepanjang 7 meter dan lebar 3 meter, hangus dilahap si jago merah, Jumat pukul 23.30. Api baru padam sepenuhnya pada Sabtu (22/6) sekitar pukul 16.00, atau sekitar 16 jam kemudian.
Petaka itu bertunas dari sebuah kapal pencari cumi yang tertambat di Eretan Wetan. Jaraknya sekitar 40 meter dari kapal Rojani yang diparkir di Eretan Kulon. Keterangan sejumlah warga, api diduga berasal dari lampu kapal cumi yang akan melaut. Sementara polisi menduga api datang dari korsleting listrik dalam mesin kapal.
Yang pasti, percikan api mengenai solar. Untuk melaut dua hingga tiga bulan, kapal cumi membutuhkan lebih dari 25 ton solar. Itu sebabnya, api berkobar dan merembet ke dua kapal cumi lainnya yang juga siap berlayar. Warga mendengar suara ledakan tiga kali.
Upaya penyelamatan yang dilakukan Rojani tak berbuah. Langkahnya kalah cepat dengan kobaran api. Tambang kapal cumi putus karena terbakar dan bergerak ke arah Eretan Kulon. Kapalnya yang berisi dua mesin dan 30 liter solar pun termakan api.
”Harga kapal saya dan isinya hampir Rp 100 juta,” ucapnya.
Bapak satu anak itu pun kehilangan sumber penghasilan Rp 500.000-Rp 1 juta saat melaut. Kondisi serupa dialami pemilik 13 kapal lainnya. Sebagian besar nelayan yang kapalnya selamat juga belum melaut. Kapal cumi bisa membawa sekitar 16 anak buah kapal. Sementara kapal yang lebih kecil hanya dua ABK.
Bangkai kapal cumi yang berukuran 17 gros ton (GT), 24 GT, dan 29 GT kini masih teronggok di pinggir aliran sungai yang menuju muara. Sementara kapal kecil lainnya yang hangus terbakar perlahan tenggelam, menghitamkan air. Bau gosong pun masih menyeruak.
Bangkai kapal itu menjadi pengingat sekaligus trauma bagi warga tentang kebakaran. Apalagi, jarak kapal yang terbakar dengan permukiman hanya sekitar 6 meter. Itu sebabnya, saat kejadian, sejumlah warga memilih mengungsi ke rumah kerabat dan ke perahu. Seperti umumnya, permukiman nelayan dan rumah warga setempat saling berimpitan padat. Ironi nelayan miskin di negeri maritim terlihat dari sana.
Bahkan, atap sebuah bangunan rumah dibongkar karena nyaris terimbas api. Sampah plastik di pinggir sungai juga menghitam. Tempat penyimpanan ikan pun nyaris meleleh. Jempol Jupri (36), nelayan setempat, luka dengan tujuh jahitan karena terimpit perahu. Casmuri juga mengalami bengkak di bagian kaki karena terjepit saat berupaya memindahkan kapal.
Lautan api
Ketua Koperasi Unit Desa Mina Bahari di Eretan Kulon H Asmudi menggambarkan peristiwa kebakaran kapal itu seperti lautan api. Solar yang tumpah ke permukaan sungai membuat api berkobar di atas air.
”Ini kebakaran yang terparah. Kalau enggak ada kapal, bisa habis (terbakar) Eretan Kulon,” ucapnya.
Sebelumnya, kebakaran kapal pernah terjadi pada 2018. Kapal cumi ukuran sekitar 60 GT dilahap si jago merah pada tengah malam. Beruntung, tangki solarnya kosong sehingga api dapat segera dipadamkan. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.
Bagi Asmudi, kebakaran kapal masih mengintai, bahkan lebih buruk. Alasannya, faktor risikonya belum diantisipasi. Bantaran sungai, misalnya, diokupansi rumah penduduk. Sementara di sungai menuju muara, ratusan kapal berimpitan.
Dari kedua sisi sungai, bisa tiga baris perahu parkir. Hanya ada ruang sempit di tengah untuk tempat kapal jalan. Dengan kondisi ini, jika terjadi kebakaran kapal, risikonya bisa membesar.
Padahal, lebar sungai hanya 40 meter dengan 700-an kapal berukuran di bawah 10 GT serta sekitar 70 kapal cumi dengan ukuran di atas 10 GT. ”Tahun 1990-an, jumlah kapalnya enggak sampai setengahnya dari jumlah sekarang. Lebar sungai juga masih 90-an meter,” ujar Asmudi yang telah 35 tahun menjadi Ketua KUD Mina Bahari.
Tahun 1990-an, jumlah kapalnya enggak sampai setengahnya dari jumlah sekarang. Lebar sungai juga masih 90-an meter.
Oleh karena itu, menurut dia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat harus segera menormalisasi Sungai Cilalanang di Eretan Kulon. Tanggul pemisah sungai dan permukiman juga dibutuhkan. Eretan Kulon kerap menjadi langganan banjir rob hingga 50 sentimeter.
Selain itu, pemerintah juga perlu menetapkan zonasi kapal cumi yang berukuran besar. Asmudi mengatakan, pihaknya sudah mengusulkan Kali Menir, sekitar 3 kilometer dari Sungai Cilalanang, sebagai tempat parkir kapal cumi.
”Nelayan sudah sepakat. Tetapi, butuh biaya Rp 17 miliar. Saya sudah sampaikan kepada Pak Bupati Indramayu (Supendi), tetapi belum ada kejelasan,” ujarnya.
Sebagian besar kapal cumi dimiliki juragan di Jakarta. Namun, kapten kapalnya atau dikenal sebagai tekong oleh masyarakat setempat umumnya merupakan warga Parean, Indramayu. Itu sebabnya, saat Lebaran, banyak kapal cumi bersandar di Eretan. Apalagi, Muara Angke, Jakarta Utara, sudah padat dengan kapal. Akhir Januari lalu, sedikitnya 34 kapal dilahap si jago merah.
”Saya takut. Kebakaran itu juga terjadi di Eretan karena kondisinya sudah padat. Saya sering ditelepon orang Jakarta, minta 125 kapal cumi sandar di Eretan. Saya bilang enggak mau,” ucapnya. Ia khawatir jika kapal cumi mendominasi dibandingkan dengan kapal kecil nelayan setempat, konflik horizontal tak terelakkan.
Sesaknya tempat sandaran kapal juga terjadi di Karangsong. Saat ini terdapat sekitar 500 kapal dan ribuan nelayan di Karangsong. Lebih dari 150 kapal berukuran di atas 30 gros ton. Antrean kapal untuk bongkar muat bisa mencapai 4 hari saat ramai.
”Kolam labuh juga hanya cukup untuk tiga lajur kapal. Saat ramai, kapal sudah tidak bisa lewat. Pemilik kapal akhirnya memilih membongkar muatannya di TPI lainnya,” lanjut Ketua I Bidang Organisasi Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra Rusmadi. Mina Sumitra merupakan koperasi perikanan yang mengelola tempat pelelangan ikan di Karangsong.
Kondisi tempat kapal berlabuh di Eretan dan Karangsong menunjukkan potensi risiko jika terjadi kebakaran kapal. Padahal, kedua daerah itu memberikan kontribusi terbesar dalam produksi perikanan Indramayu.
Tahun lalu, Karangsong menyuplai 21.532 ton dengan transaksi Rp 476,9 miliar sedangkan Eretan Kulon sekitar 8.000 ton dengan nilai transaksi Rp 49,4 miliar. Karangsong bahkan berkontribusi Rp 10,6 miliar untuk pendapatan asli daerah Indramayu.
Produksi perikanan di Indramayu tahun 2018 mencapai 36.576 ton dan nilai transaksinya Rp 595 miliar. Dengan garis pantai 147 km, Indramayu menyumbang sekitar 40 persen produksi perikanan di Jabar. Artinya, tanpa upaya pencegahan kebakaran kapal, produksi perikanan bagi warga Jabar terancam.