Hari ini, harian Kompas memasuki usia ke-54. Sejak awal kelahirannya, Kompas tidak hanya menjadi bagian dari perjalanan bangsa, tetapi sekaligus menjadi panduan bagi para pengambil kebijakan. Ini seperti diceritakan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Hari ini, harian Kompas memasuki usia ke-54. Sejak awal kelahirannya, Kompas yang selalu menghadirkan informasi terpilih, terverifikasi, dan berkualitas tidak hanya menjadi bagian dari perjalanan bangsa, tetapi menjadi panduan bagi para pengambil kebijakan. Kehadiran Kompas pun tetap diharapkan di tengah banjir informasi yang mengalir bak air bah.
Di antara para pengambil kebijakan yang menjadikan Kompas sebagai acuan adalah Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Tokoh yang juga berpengalaman di dunia jurnalistik itu mengisahkan, telah mengenal dan membaca Kompas sejak pertengahan 1980.
Saat itu, ia masih mahasiswa yang kemampuan finansialnya terbatas sehingga hanya bisa membaca koran yang tersedia di perpustakaan kampus. Meski demikian, hal tersebut membuatnya cukup mengenal karakter media massa yang didirikan Jakob Oetama dan PK Ojong pada 1965 itu.
Menurut dia, Kompas selalu mampu menempatkan diri di posisi netral dalam setiap persoalan. Gaya menulisnya pun dapat menyajikan persoalan pelik menjadi lebih jelas. Kedua hal tersebut penting dalam konteks persaingan media massa pada periode 1980 hingga 1990.
”Oleh karena itu, Kompas selalu menjadi acuan bagi saya dan hampir semua pengambil keputusan sampai hari ini,” kata Bambang saat ditemui di kantornya, Rabu (26/5/2019).
Bambang yang menjabat sebagai anggota DPR sejak 2009 kemudian menjadi Ketua DPR pada 2018 mengakui, sejumlah keputusan penting di parlemen diambil berdasarkan pertimbangan pemberitaan Kompas.
Salah satunya saat revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang begitu ”panas” pada 2017.
Ketika itu, DPR mengusulkan pembentukan Panitia Angket DPR terhadap KPK yang dinilai banyak pihak merupakan upaya melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
”Saat itu, Kompas menyuarakan (pandangan) dengan mengutip berbagai sumber yang menolak revisi Undang-Undang KPK. Kemudian berbagai suara itu didengar pemerintah dan DPR sehingga kami memutuskan untuk menunda pembahasan UU KPK,” ujar Bambang.
Pengalaman serupa hadir dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto. Menurut Panglima TNI periode 1998-1999 yang telah membaca Kompas sejak meniti karier militernya, Kompas merupakan media massa yang menempati posisi dominan di tengah masyarakat. Sebab, pemberitaan yang dihadirkan selalu jujur, akurat, dan akuntabel.
Sejumlah prinsip yang tidak pernah alpa dalam pemberitaan itu membuatnya percaya untuk menjadikan pemberitaan Kompas sebagai pertimbangan dalam merumuskan setiap kebijakan politik, hukum, dan keamanan.
Salah satunya saat Kompas memberitakan pengelolaan dan pengawasan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang belum optimal.
Misalnya, penghuni lapas yang melebihi kapasitas lapas. Selain itu, narapidana pun masih bisa melarikan diri dari sana. Hal itu membuat Wiranto sadar, perlu ada kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan di lapas.
”Banyak hal yang kemudian bisa saya ambil dari Kompas untuk menjadi bagian dari pengambilan kebijakan,” katanya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, telah membaca dan menjadikan ragam artikel Kompas sebagai referensi sejak memasuki perguruan tinggi dan menjadi aktivis mahasiswa pada 1978.
Bahkan menurut dia, media massa nasional tersebut bisa meningkatkan prestise dari siapa saja yang sekadar membawanya, apalagi membacanya.
”Waktu saya masih mahasiswa, ada kebanggaan tersendiri jika berjalan atau rapat-rapat itu membawa Kompas,” ujarnya.
Sejak masih menempuh studi hingga menjadi anggota DPR, pengurus partai politik, dan kini menjabat menteri, Tjahjo pun selalu mengikuti setiap konten di media massa itu, khususnya yang berkaitan politik dan hukum.
Inovasi dari Kompas yang membuatnya amat tertarik adalah kerja dari Litbang Kompas. Menurut dia, beragam hasil survei dan penelitian yang dilakukan Litbang Kompas meningkatkan akurasi dari berita-berita harian di Kompas.
”Setiap hasil Litbang Kompas itu saya kliping untuk referensi semua hal, khususnya dari politik, hukum, dan pemerintahan,” katanya dia.
Obyektif dan independen
Seiring dengan perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi, pemberitaan media massa kerap diragukan karena sulit dibedakan dengan berita bohong atau hoaks. Namun, baik Wiranto maupun Bambang Soesatyo sepakat, Kompas masih konsisten menyajikan berita yang obyektif. Media massa ini juga dinilai masih mampu menjadi acuan informasi bagi masyarakat.
”Saya berharap, ke depan Kompas akan terus bertahan seperti ini, sebagai benteng terakhir bagi pembaca untuk menentukan berita yang layak dipilih,” katanya.
Pemberitaan yang obyektif, kata Tjahjo, juga mampu meningkatkan level kepercayaan publik. Oleh karena itu, kritik yang disampaikan pun lebih bisa diterima oleh semua pihak. Namun, menjaga obyektivitas saja belum cukup. ”Kompas harus tetap independen,” ujarnya.
Hal serupa dikatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dia berharap Kompas senantiasa menjunjung nilai obyektivitas dan independensi di tengah disrupsi media. Dengan demikian, kehadiran Kompas dapat semakin mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat. (DHANANG DAVID ARITONANG/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/NIKOLAUS HARBOWO/AGNES THEODORA)