Bareskrim Sita Rp 173 Miliar dari Kasus Korupsi Mantan Dirut PLN
Ratusan miliar rupiah uang yang disita merupakan kelanjutan dari penyidikan kasus korupsi pengadaan BBM jenis high speed diesel pada PT PLN tahun anggaran 2010. Tersangka Nur Pamudji, Direktur Utama PT PLN periode 2011-2014, menurut rencana diserahkan ke Kejaksaan Agung pekan depan.
Oleh
IKSAN MAHAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri terus melanjutkan proses penyidikan kasus korupsi pengadaan bahan bakar minyak jenis high speed diesel pada PT Perusahaan Listrik Negara tahun anggaran 2010. Tim penyidik telah menyita sejumlah barang bukti uang sekitar Rp 173 miliar dari kasus tersebut.
Dalam penyampaian proses penyidikan kasus itu di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (28/6/2019), Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Komisaris Besar Djoko Purwanto menuturkan, tim penyidik telah menetapkan Direktur Utama PT PLN periode 2011-2014 Nur Pamudji sebagai tersangka. Penetapan tersangka itu dilakukan sejak 2015.
Djoko mengungkapkan, pada 2010, Nur yang menjabat Direktur Energi Primer PT PLN melakukan pertemuan dengan Presiden Direktur PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) Honggo Wendratmo sebelum melakukan lelang untuk kebutuhan PLN terhadap BBM jenis high speed diesel.
BBM jenis itu diperuntukkan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambak Lorok, Semarang, Jawa Tengah, dan PLTGU Belawan, Deli Serdang, Sumatera Utara.
”Dalam proses lelang, Nur memerintahkan panitia pengadaan untuk memenangkan Tuban Konsorsium yang merupakan bagian dari PT TPPI dengan kontrak berjangka 4 tahun, dari 2010 hingga 2014. Namun, dalam perjalanannya, Tuban Konsorsium ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM untuk dua PLTGU itu sesuai perjanjian,” tutur Djoko.
Akibatnya, PLN harus membeli bahan bakar dari pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari nilai kontrak dengan Tuban Konsorsium. Alhasil, PLN mengalami kerugian.
Rugi Rp 188 miliar
Ketika ditanya terkait lamanya proses penyidikan, Djoko menjelaskan, kasus korupsi berbeda dengan kasus kejahatan lain. Sebab, dibutuhkan akurasi untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, penyidik juga mengalami kesulitan untuk mendalami kasus itu karena Honggo melarikan diri ke luar negeri.
Dari kasus itu, Badan Pemeriksa Keuangan melansir, negara mengalami kerugian sekitar Rp 188 miliar.
Kepala Subdirektorat 1 Tipikor Bareskrim Polri Komisaris Besar Arief Adiharsa menjelaskan, berdasarkan penelusuran tim penyidik, Honggo menyimpan hasil tender di beberapa rekening milik PT Tuban LPG Indonesia yang juga masih merupakan PT TPPI dan dimiliki oleh Honggo.
Arie mengungkapkan, penyitaan sejumlah uang yang menjadi barang bukti itu dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pada 6 Maret 2018 sebesar Rp 140 miliar, lalu 24 Mei 2018 sebanyak Rp 8,7 miliar, serta 24 Mei 2018 dari rekening lain disita sekitar Rp 23 miliar. Secara total, penyidik telah menyita uang sebanyak Rp 173.369.702.672 yang menjadi barang bukti dalam kasus tersebut.
”Korupsi itu berbeda dengan perkara yang lain. Kadang-kadang tidak selalu sempurna keadaan barang buktinya karena memang korupsi itu kejahatan yang direncanakan,” kata Arief.
Nur dijerat dengan pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penyidik berencana menyerahkan tersangka ke Kejaksaan Agung pada pekan depan. Adapun jaksa penuntut umum telah menilai lengkap berkas penyidikan kasus itu pada Desember 2018.