Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru masih memunculkan sejumlah masalah. Selain evaluasi mendalam, diperlukan sinkronisasi peraturan dan payung hukumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan dan payung hukum terkait Penerimaan Peserta Didik Baru dan zonasi dinilai bermasalah. Antara peraturan pemerintah dengan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memiliki beberapa bagian yang tidak singkron. Ombudsman Republik Indonesia merekomendasikan diadakan evaluasi mendalam yang disusul dengan penyelarasan aturan.
“Secara umum, semangat PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) berbasis zonasi sangat bagus karena bertujuan menghilangkan diskriminasi di dunia pendidikan sekaligus meratakan mutu pendidikan. Namun, dari segi penerapan harus diakui banyak masalah akibat ketidakjelasan aturan dan minim sosialisasi di lapangan,” kata Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ninik Rahayu di Jakarta, Kamis (27/6/2019) pada acara “Ngopi Bareng Ombudsman: Pelaksanaan PPDB dan Isu Terkini Pelayanan Publik Lainnya”. Turut hadir Ketua ORI Amzulian Rifai beserta Komisioner Alamsyah Saragih dan Adrianus Meliala.
Ninik menjelaskan, ketidakajegan aturan PPDB tampak dari perubahan syarat jalur prestasi yang awalnya 5 persen menjadi 15 persen. Ini menunjukkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak tegas dalam bersikap. Apabila tidak diawasi dengan ketat, kuota ini bisa disalahgunakan oleh sekolah untuk menerima anak-anak yang pintar saja. Mereka umumnya berasal dari keluarga kelas menengah dan atas yang peduli terhadap pendidikan dan mampu membiayai anak untuk mengikuti bimbingan belajar. Akibatnya, dikotomi sekolah favorit dan pinggiran atau buangan tidak bisa hilang dari benak masyarakat.
Ketidakajegan aturan PPDB tampak dari perubahan syarat jalur prestasi yang awalnya 5 persen menjadi 15 persen.
“Semestinya evaluasi secara mendalam dulu masalah PPDB yang dikeluhkan masyarakat. Setiap wilayah memiliki keluhan yang berbeda. Seharusnya, solusi diberikan sesuai spesifikasi masalah, bukan langsung berbentuk kebijakan nasional yang akhirnya bertentangan satu sama lain,” tuturnya.
ORI juga mengkritisi lemahnya koordinasi antara Kemdikbud, Kementerian Dalam Negeri dan dinas-dinas di provinsi serta kabupaten/kota. Akibatnya, persiapan pelaksanaan PPDB tidak optimal karena sumber daya pemerintah daerah tidak memahami maksud, tujuan, dan metode PPDB.
Salah satu contohnya adalah fenomena pengubahan kartu keluarga (KK) di Bandung, Jawa Barat. Demi mengejar sekolah-sekolah negeri favorit, masyarakat berbondong-bondong menitipkan anak kepada kerabat yang tinggal di dekat kerabat tersebut. Nama anak dimasukkan ke dalam KK keluarga yang dititipkan.
“Artinya, dinas kependudukan dan catatan sipil tidak mengerti aturan PPDB. Padahal, mereka sebenarnya bisa mencegah terjadinya pindah KK demi mengejar sekolah ini,” kata Ninik.
Bertentangan
Kepala Perwakilan ORI Jakarta Raya Teguh Nugroho memaparkan, DKI Jakarta tidak menerapkan PPDB berbasis zonasi. Mereka menyeleksi siswa berdasar hasil Ujian Nasional (UN). Hal ini tidak sesuai dengan Permendikbud 51/2018 tentang PPDB yang mengamanatkan mengenai pemakaian zonasi, akan tetapi masih sejalan dengan Peraturan Pemerintah 13/2015 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengizinkan nilai UN sebagai alat ukur untuk naik ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
DKI Jakarta tidak menerapkan PPDB berbasis zonasi. Mereka menyeleksi siswa berdasar hasil Ujian Nasional.
“Aturan-aturan yang bertentangan ini menjadi celah bagi pemerintah daerah untuk membuat aturan sendiri yang mungkin kontraproduktif dengan tujuan PPDB,” ujarnya. Rekomendasi ORI apabila aturan mengenai zonasi benar-benar hendak dilakukan adalah merevisi PP 13/2015 agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan.
Pada kesempatan yang lain, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Nisa Felicia mengatakan pelaksanaan PPDB berbasis zonasi sejak awal semestinya diterapkan secara berangsur, mulai dari daerah yang siap lalu dievaluasi. Setelah itu, daerah-daerah lain menyusul ketika sudah menyiapkan sumber daya manusia dan meratakan mutu pendidikan di semua sekolah.
Pelaksanaan PPDB berbasis zonasi sejak awal semestinya diterapkan secara berangsur, mulai dari daerah yang siap lalu dievaluasi.
Ia menjelaskan, orangtua tidak memahami landasan filosofis zonasi karena mereka hanya melihat hal yang kasat mata. Misalnya, sekolah favorit sarana dan prasarananya tampak lebih baik daripada sekolah lain. Selain itu, prestise sekolah juga berkaitan dengan kesempatan anak diterima masuk di perguruan tinggi idaman orangtua.
“Sebaiknya, gencarkan dulu pemerataan mutu pendidikan, mulai dari keadilan sarana prasarana, rotasi dan pelatihan guru, serta pemelajaran yang baik. Apabila hal tersebut dilakukan secara transparan, cara pikir orangtua juga akan berubah,” ucapnya.