JAKARTA, KOMPAS – Dalam pembacaan putusan sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden 2019, Mahkamah Konstitusi, Kamis (27/6/2019), menilai, dalil pemohon mengenai tempat pemungutan suara dan daftar pemilih tetap siluman tidak relevan dan tidak berdasar pada hukum. Sebab, bukti dari pemohon yang salah satunya berupa rekaman video, tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
“Mahkamah memandang, dalil pemohon tentang tempat pemungutan suara (TPS) siluman di seluruh Indonesia merupakan dalil yang tidak jelas. Setelah membandingkan dengan data di laman Sistem Informasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum (Situng) KPU, pemohon tidak dapat menyebutkan secara khusus di mana TPS itu berada,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Sebelumnya, pemohon menyampaikan bahwa ada sekitar 37.324 TPS di seluruh Indonesia yang semula angka DPT-nya nol. Namun, di Situng semua TPS yang nol tersebut berisi angka sejumlah 8.319.073 suara. Pemohon menilai, angka ini potensial digunakan untuk penggelembungan suara.
Sementara termohon membantah dan menyatakan, dalil pemohon tersebut adalah dalil yang tidak jelas dan tidak berdasar hukum. Sebab, dibangun bukan berdasarkan fakta-fakta hukum tetapi atas dasar asumsi yang penuh kecurigaan. Selain itu, dalil juga memutarbalikan fakta yang cenderung bersifat fitnah.
Dalam hal ini, para hakim MK memandang bahwa dalil tersebut tidak lengkap. Pemohon juga tidak mengaitkan dalil tersebut dengan bukti tertentu. Dengan begitu, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Terkait dalil pemohon atas indikasi daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak wajar atau disebut DPT siluman dengan jumlah mencapai 17,5 juta suara, Saldi menyatakan bahwa persoalan DPT adalah persoalan yang sudah selesai.
“Secara normatif, persoalan DPT adalah persoalan yang sudah selesai sesuai dengan tahapan penyelenggaraan pemilu. Seluruh persoalan DPT sudah selesai sebelum pelaksanaan pemungutan suara,” kata Saldi.
Sebab, secara teknis terdapat jeda waktu antara hari penetapan DPT dan hari pemungutan suara. Dengan demikian, ada jangka waktu atas terjadinya peristiwa kependudukan yang berakibat pada timbulnya atau hilangnnya hak pilih penduduk.
Misalnya perkawinan, pertambahan usia, kematian, atau pun peristiwa yang mempengaruhi hak pilih seperti mobilitas penduduk antar wilayah administrasi. “Namun peristiwa itu tetap selesai sebelum pelaksanaan pemungutan suara,” ujar Saldi.
Situng KPU
Situng adalah sistem penghitungan dalam pemilu dan merupakan bagian dari sistem informasi yang salah satu kelengkapan utama yang diperlukan dalam pelaksanaan pemilu. Namun, pencatatan data pada Situng KPU bukan merupakan sumber data rekapitulasi berjenjang yang menjadi dasar penghitungan perolehan suara pada tingkat nasional.
Sebab, pengelolaan data pada Situng KPU hanya merupakan alat bantu berbasis teknologi informasi untuk mendukung akuntabilitas kinerja. Dengan begitu, dalil pemohon terkait keamanan KPU dikarenakan Situng tidak tepat.
Saldi menegaskan, terlepas dari benar atau tidaknya argumentasi pemohon mengenai keamanan Situng KPU, hal tersebut tidak serta-merta bekaitan dengan penetapan hasil perolehan suara Pemilu 2019.
“Andaipun sistem keamanan Situng KPU bermasalah, laman Situng KPU tetap tidak dapat digunakan sebagai dasar rekapitulasi berjenjang untuk menentukan hasil akhir perolehan suara Pilpres 2019. Sehingga dalil pemohon tidak beralasan dengan hukum,” ujar Saldi.