Rencana Rehabilitasi Gunung Botak Kembali Diapungkan
Pemerintah Provinsi Maluku kembali mewacanakan rehabilitasi bekas tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Program rehabilitasi sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak ketiga namun justru malah membuat pencemaran semakin parah. Kasus itu sedang ditangani Kepolisian Daerah Maluku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Maluku kembali mewacanakan rehabilitasi bekas tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Sebelumnya, rehabilitasi sudah pernah dilakukan pihak ketiga, tetapi malah membuat pencemaran semakin parah. Kasus itu sedang ditangani Kepolisian Daerah Maluku.
”Pencemaran merkuri menyebar ke mana-mana. Mau tidak mau, sedimen yang tercemar itu harus diangkat karena akan berbahaya nantinya,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Roy C Siauta seusai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang berlangsung di Ambon, Kamis (27/6/2019).
Sebaiknya fokus saja pada lingkungan. Jangan tambang dulu.
Menurut Roy, pihaknya sedang menyusun peta jalan penataan kembali bekas tambang emas liar itu bersama peneliti dari Universitas Pattimura, Ambon. Rencana penataan itu sudah bisa dieksekusi tahun depan. Ia menjamin tidak ada persoalan di kemudian hari seperti saat ini.
Lokasi tambang liar Gunung Botak mulai beroperasi pada Oktober 2011. Lebih dari 20.000 orang merambah lokasi seluas lebih kurang 250 hektar itu. Para petambang mengambil material di lokasi itu lalu mengolahnya menjadi emas. Salah satu teknik pengolahannya menggunakan cairan merkuri untuk mengikat emas.
Lokasi tambang itu berulang kali ditutup tetapi petambang yang didukung pemodal dan oknum aparat keamanan tetap kembali menambang lagi. Operasi penutupan dilakukan lebih dari 30 kali. Penutupan terakhir dilakukan pada Oktober 2018 dipimpin Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa. Saat ini, lokasi itu sudah bebas dari petambang.
Pada Maret 2019, tim dari sejumlah kementerian dan lembaga mendatangi Gunung Botak. Saat itu, Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Kemaritiman Ridwan Djamaluddin mengatakan, pemerintah akan memberikan hak pengelolaan emas di Gunung Botak kepada perusahaan berpengalaman dan punya reputasi baik. Hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari kunjungan tersebut.
Roy mengatakan, penataan itu dilakukan untuk membersihkan lingkungan. Pengalaman sebelumnya, beberapa perusahaan dilibatkan dalam penataan Gunung Botak. Namun, nyatanya perusahaan itu justru mengolah emas secara terselubung. Bahkan, ada perusahaan yang terindikasi melakukan pencemaran lingkungan.
Terhadap kasus itu, pada Maret lalu, penyidik Polda Maluku menetapkan PT Prima Indo Persada sebagai tersangka dalam kasus pencemaran lingkungan di sekitar Gunung Botak. Diduga perusahaan tersebut menggunakan sianida untuk mengolah emas. Limbah pengolahan dibuang ke alam bebas sehingga mencemari lingkungan.
”Ke depan harus hati-hati,” ujar Roy.
Pengajar ilmu kimia di Universitas Pattimura, Ambon, Abraham Mariwy, berpendapat, pemerintah harus fokus membenahi lingkungan yang kini sudah tercemar. Saat ini, penambangan emas belum perlu dibicarakan.
”Sebaiknya fokus saja pada lingkungan. Jangan tambang dulu,” ujarnya.
Menurut catatan Kompas, penelitian Universitas Pattimura dan internal Komando Daerah Militer XVI/Pattimura membuktikan sejumlah warga sudah terpapar merkuri.
Merkuri telah mencemari air dan sedimen sejumlah sungai di Pulau Buru dan Teluk Kayeli, muara sungai dimaksud. Padahal, air di sungai tersebut digunakan untuk kebutuhan pertanian di Pulau Buru yang merupakan sentra produksi beras di Maluku. Adapun pencemaran di Teluk Kayeli mengancam biota laut.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, anggota Polri masih berjaga di Gunung Botak sejak Oktober 2018 hingga saat ini. Pengamanan itu untuk mencegah petambang kembali merambah Gunung Botak. Saat ini, polisi menyinyalir masih adanya pihak-pihak tertentu yang memengaruhi warga setempat untuk kembali menambang.