Pengembangan Sektor Teknologi Informasi Akan Perbaiki Transaksi Berjalan
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca transaksi jasa teknologi informasi dan komunikasi atau TIK saat ini mengalami defisit. Karena itu, perbaikan pada kinerja sektor tersebut berpotensi menyehatkan kinerja transaksi berjalan nasional.
Sepanjang triwulan-I 2019, neraca jasa mengalami defisit 1,78 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 25,24 triliun berdasarkan referensi kurs Bank Indonesia (BI). Adapun defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan-I 2019 sebesar 7 miliar dollar AS atau 2,6 persen dari produk domestik bruto.
Dalam neraca jasa, sektor TIK (merujuk jasa teknologi, komputer, dan informasi dalam pendataan BI) mengalami defisit 339 juta dollar AS pada triwulan-I 2019. Sektor ini menempati urutan ketiga sebagai penyumbang defisit terbesar setelah sektor transportasi dan hak kekayaan intelektual (HAKI).
”Kalau mau memperbaiki defisit transaksi berjalan, sektor TIK mesti menjadi perhatian,” kata Wakil Ketua Umum Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia (KEIN) Arif Budimanta dalam diskusi di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Sepanjang 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen dari PDB. Defisit transaksi jasa bernilai 7,1 miliar dollar AS dengan defisit sektor TIK sebesar 1,58 miliar dollar AS.
KEIN juga menyoroti tren defisit neraca jasa TIK yang melebar dari tahun ke tahun. Pada 2017, defisitnya sebesar 1,53 miliar dollar AS dan pada 2018 sebesar 1,58 miliar dollar AS.
Berdasarkan data yang dihimpun KEIN dari BI, Arif mengatakan, kecenderungan melebarnya defisit neraca jasa TIK bermula sejak 2012 hingga saat ini. Kini, Indonesia juga tengah mengadopsi teknologi untuk menunjang revolusi industri 4.0.
Kecenderungan melebarnya defisit neraca jasa TIK bermula sejak 2012 hingga saat ini.
Selain impor yang membengkak di jasa TIK, impor barang modal penunjang TIK juga meningkat. Menurut analisis KEIN, hal itu tampak dari tren impor barang dengan kode HS 85 yang terdiri dari mesin, peralatan listrik; perekam dan reproduksi suara; perekam serta reproduksi gambar dan suara televisi; serta bagian-bagian dan aksesoris barang terkait.
Sepanjang 2018, impor barang HS 85 menempati posisi ketiga setelah impor migas (HS 27) serta impor mesin dan peralatan mekanik (HS 84). Nilai impornya 21,45 miliar dollar AS dengan kontribusi impor 11,37 persen.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi menjadi produsen dan eksportir jasa TIK. ”Indonesia jangan hanya menjadi pasar sektor TIK, tetapi juga bisa sebagai produsen, bahkan eksportir,” kata dosen Fakultas Ekonomi Dana Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Nunung Nuryartono.
Berdasarkan data yang dihimpun Nunung dari Hootsuite dan We are Social, pengguna ponsel di Indonesia mencapai 133 persen dari populasi terhitung pada Januari 2019. Penetrasi internet di Indonesia sebesar 56 persen.
Menurut Nunung, perbaikan defisit neraca jasa TIK dimulai dari memperkuat ekosistem peranti lunak (software) nasional. Dia mencontohkan, aplikasi dari dalam negeri mesti mendapatkan izin diperbanyak (copyright) dari Indonesia. Selain itu, masyarakat Indonesia juga perlu didorong untuk mengunduh dan menggunakan aplikasi-aplikasi karya anak bangsa.
Tak hanya ekosistem peranti lunak, Nunung berpendapat, pemerintah mesti mendongkrak investasi di sumber daya manusia. ”Pengembangan sektor TIK turut membutuhkan SDM dengan kualitas mumpuni,” katanya. (JUD)