Balai Arkeologi Sulut Gelar Enam Penelitian Selama 2019
Balai Arkeologi Sulawesi Utara mengagendakan penelitian peninggalan masa prasejarah dan masa sejarah pada enam situs di tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
GORONTALO, KOMPAS — Balai Arkeologi Sulawesi Utara mengagendakan penelitian peninggalan masa prasejarah dan masa sejarah pada enam situs di tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Penelitian mencakup tiga aspek kebangsaan, yaitu kebinekaan, kemaritiman dan jalur rempah, serta arkeologi prasejarah di pulau terluar.
Hal ini dikemukakan Kepala Balai Arkeologi (Balar) Sulut Wuri Handoko dalam Pameran Arkeologi di kompleks Taman Budaya Limboto, Kabupaten Gorontalo, Kamis (27/6/2019). Hadir pula sebagai pembicara peneliti Balar Sulut, Irna Saptaningrum, serta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gorontalo Lilian Rahman.
”Selama 2019 ada empat penelitian prasejarah (masa sebelum muncul aksara) serta dua penelitian masa sejarah. Di Kabupaten Talaud, kami akan meneliti sebaran budaya Austronesia. Di Sangihe, kami meneliti peradaban batu kubur. Keduanya di pulau terluar di Sulut,” kata Wuri.
Terkait kebinekaan, Balar Sulut akan meneliti peradaban masa lampau di Minahasa Selatan. Menurut dia, ditemukan lubang-lubang batu di tanah yang diperkirakan berusia 2.500 tahun. Ia berhipotesis, orang Minahasa telah mengenal cara bercocok tanam dan mengenal budaya pangan yang kuat.
”Pertanyaan ini terkait dengan swasembada pangan. Kini, hampir semua beras di Minahasa didatangkan dari Sulsel dan Jawa. Jika (perkiraan saya) terbukti, penelitian ini bisa menjadi acuan kebijakan pangan di masa depan,” kata Wuri.
Penelitian di aspek kebinekaan juga akan dilaksanakan di Morowali, Sulteng, terkait peradaban dan hunian prasejarah di pesisir timur Sulteng. Penelitian tersebut dinilainya penting untuk mempelajari perkembangan persatuan bangsa.
Adapun dua penelitian masa sejarah di Gorontalo bertemakan kemaritiman dan jalur rempah. Dua obyek penelitian tersebut adalah Benteng Nassau di Kota Gorontalo dan Benteng Maas di Kabupaten Gorontalo Utara.
Penemuan ini dapat digunakan untuk mengambil kebijakan di masa depan.
Irna mengatakan, ekskavasi di Benteng Maas telah berlangsung pada April sampai Mei. Saat ini, Balar sedang berupaya meneliti konstruksi benteng. ”Tetapi, tidak mudah karena bangunan hanya tersisa beberapa persen. Selain itu, baru satu bastion (bagian sudut benteng) yang ditemukan, harus mencari tiga yang lain,” katanya.
Tantangan mendapatkan seluruh bagian benteng dinilai Irna cukup besar. Selain kemungkinan masih tertimbun atau sudah hancur, ada pula bagian-bagian yang telah dirusak oleh masyarakat.
Wuri menambahkan, penelitian di kedua benteng ini bisa jadi berkaitan dengan kolonialisme dan jalur rempah. Diperkirakan, hasil penelitian ini bisa berkaitan dengan penemuan kapak neolitik dan bandul jala di Desa Oluhuta, Bone Bolango.
”Bisa jadi, masyarakat Gorontalo telah mengenal cara bercocok tanam serta kemaritiman sejak sebelum kolonialisme,” katanya.
Memahami masyarakat
Menurut Wuri, penelitian arkeologi penting untuk memahami cara hidup dan peradaban masyarakat di masa lalu. Di samping itu, dapat terkuak pula karakter, jati diri, dan nilai-nilai yang dianut masyarakat dari artefak yang ditinggalkannya.
”Penemuan ini dapat digunakan untuk mengambil kebijakan di masa depan,” ujarnya.
Seiring dengan gagasan tersebut, Lilian menilai, penelitian untuk memajukan kebudayaan, khususnya di Gorontalo, sangat penting. Pembentukan karakter peserta didik di sekolah bergantung pada pengenalan budaya.
Lilian mengatakan, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah merumuskan 11 pokok kebudayaan yang perlu diajarkan kepada peserta didik. ”Salah satunya cagar budaya yang mencakup arkeologi. Ini adalah upaya kita semua melestarikan nilai budaya,” katanya.
Di samping itu, Pemprov Gorontalo juga telah menyiapkan dana Rp 70 miliar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah untuk pelestarian budaya. Salah satu programnya, pembangunan Taman Budaya Limboto serta rumah adat.
”Kami bahkan akan menanam berbagai tanaman yang berhubungan dengan adat istiadat Gorontalo. Jadi, berbagai OPD (organisasi perangkat daerah) seperti dinas PUPR (pekerjaan umum dan perumahan rakyat) dan dinas lingkungan hidup juga terlibat di situ,” katanya.