Pembalasan “La Celeste”
Tim nasional Uruguay menuntaskan dendam lamanya seusai membekap Chile 1-0 di penyisihan grup C, Selasa pagi. Hasil laga itu memaksa “La Roja”, juara bertahan, berkencan maut dengan Kolombia di perempat final.
RIO DE JANEIRO, SELASA – Stadion legendaris di Brasil, Maracana, mendadak menjadi lautan merah suporter tim nasional Chile ketika menghadapi rival bebuyutannya, Uruguay, Selasa (25/6/2019) pagi waktu Indonesia. Mereka ingin mengulang kenangan manis lima tahun silam di tempat sama, yaitu ketika menghancurkan juara dunia Spanyol pada penyisihan grup Piala Dunia 2014.
Laga di Piala Dunia Brasil itu merupakan tonggak dari era emas ”La Roja”, julukan timnas Chile. Spanyol, juara dunia sekaligus Eropa bertahan, di luar dugaan dibekap Chile 0-2 di Maracana. Permainan tiki-taka yang memesona ala Spanyol dihancurkan agresivitas dan militansi Chile di laga itu.
Agresivitas yang sama membuat Uruguay takluk dari Chile pada perempat final Copa America 2015. Uruguay, yang berstatus juara bertahan saat itu, kehilangan kedua pemainnya akibat dikartu-merah pada laga itu. Pemain itu salah satunya Edinson Cavani, striker Uruguay yang mengeluarkan ”tinjunya” akibat provokasi Gonzalo Jara, bek Chile.
Chile lagi-lagi mengendalikan ”La Celeste” pada duel kemarin. La Roja mendominasi penguasaan bola dan lebih banyak menciptakan peluang gol. Namun, di saat laga itu terlihat bakal berakhir imbang dan menguntungkan Chile, Cavani menunjukkan kelasnya. Sundulan kepala, yang menjadi keahlian khas striker berjuluk ”El Matador” itu, menggetarkan jala gawang Chile di menit ke-82.
Stadion Maracana mendadak senyap. Cavani dan rekan-rekannya merayakan gol itu laiknya meraih trofi Copa America. Chile, juara 2015 dan 2016, kalah untuk pertama kalinya dalam delapan laga terakhir Copa America. ”Rasanya sangat spesial bisa mengalahkan rival yang spesial,” ujar Cavani.
Kemenangan 1-0 itu membuat La Celeste menyalip Chile di puncak klasemen grup C. Dampaknya, jalan mereka difase gugur, yaitu perempat final, bakal lebih mudah. Mereka menghindari pertemuan dengan Kolombia, salah satu unggulan juara di Copa America 2019. Kolombia adalah satu-satunya tim yang sempurna di Brasil sejauh ini. Mereka bahkan belum sekali pun kebobolan gol dari tiga laga.
Kolombia, yang mengalahkan Argentina di laga perdananya di Copa America edisi ke-46 itu, bakal menjadi lawan Chile di perempat final. Adapun Uruguay bakal menghadapi Peru, salah satu tim peringkat ketiga terbaik di penyisihan grup.
Untuk itu, kans La Celeste melaju ke semifinal pun kian besar. Terakhir kali mereka lolos ke fase empat besar itu adalah pada 2011, yaitu saat juara di Argentina.
Evolusi Cavani
Pelatih Uruguay Oscar Tabarez memuji penampilan Cavani. Striker berusia 32 tahun itu seolah berevolusi di laga itu. Malam itu, Cavani menjalankan peran yang sedikit berbeda dari kebiasaannya di klubnya, Paris Saint-Germain. Cavani tampil sebagai penyerang bayangan yang bergerak dinamis di berbagai sisi pertahanan Chile, seolah tidak kenal lelah.
Ketika itu, ia diduetkan dengan Luis Suarez, striker Barcelona yang dijadikan ujung tombak serangan La Celeste. Gol tunggalnya di laga itu menunjukkan kepiawaian Cavani mencari celah pertahanan Chile, tim yang tampil dengan lima pemain bertahan. ”Itulah Cavani. Dia tidak pernah berhenti. Hari ini, ia menjalankan sejumlah fungsi berbeda. Namun, karakteristiknya tidak menghilang, yaitu mencetak gol,” ujar Tabarez.
Berbeda dengan Cavani, Suarez terlihat frustasi di laga itu. Ia bahkan menjadi olok-olok di jagat maya menyusul insiden di menit ke-23 laga itu. Ketika itu, Suarez menunjukkan gestur meminta hadiah penalti akibat handsball dari wasit asal Brasil Raphael Claus. Insiden itu bermula saat bola operannya ditepis kiper Gabriel Arias di area kotak penalti. Padahal, sudah tugas kiper untuk mencegah bola, termasuk menggunakan tangannya.
”Nampaknya hanya ada satu pemain di dunia ini yang menuntut handsball dari kiper. Dia adalah Luis Suarez,” kicau John Kokkoris, penikmat sepak bola, di akun Twitternya.
Adapun bagi Chile, kekalahan itu merupakan ganjaran mahal dari ”perjudian” pelatih Reinaldo Rueda yang mengistirahatkan sejumlah pemain kuncinya seperti gelandang Arturo Vidal dan bek sayap Mauricio Isla. Ia khawatir para pemainnya itu terkena larangan bermain di babak perempat final karena mereka telah mengantongi kartu kuning di laga-laga sebelumnya.
Bak Muhammad Ali
Tak heran, Rueda sempat disoraki suporter Chile pada laga itu karena mencoba bermain aman. Namun, terlepas absennya Vidal dan Isla, kekalahan dari Uruguay itu mengekspose lubang kelemahan di tubuh La Roja. Tim Vickery, koresponden ESPN di Brasil, mengibaratkan La Roja sebagai petinju legendaris Mohammad Ali di pengujung kariernya.
La Roja masih mempertahankan permainan agresif dan intensitas tinggi yang diwariskan mantan pelatihnya, Jorge Sampaoli. Permainan semacam ini menuntut stamina dan energi tinggi. Tuntutan itu tidak lagi mampu dipenuhi La Roja menyusul menuanya para pemain generasi emas mereka seperti duo bek kawakan, Jara dan Gary Medel.
Tak ayal, Chile ganti tertekan pada pertengahan babak kedua, terutama seusai Tabarez melakukan pergantian pemain. Tabarez menurunkan dua gelandang yang lebih ofensif, yaitu Nahitan Nandez dan Javier Rodriguez. Pergantian itu lantas berbuah gol Cavani.
”Chile seperti Ali di akhir kariernya. Mereka mencoba memainkan gaya anak-anak muda dengan materi skuad yang mulai menua. Mereka tidak lagi mampu menjaga intensitas hingga akhir laga,” tulis Vickery. (AP)