Narkoba yang Tak Lekang oleh Waktu
Sepekan terakhir, kepolisian beruntun menggagalkan penyelundupan serta menggerebek pabrik narkoba di sejumlah tempat di Jakarta. Peredaran barang haram ini seakan tak ada habisnya, meski aparat negara terus menangkap maupun memidanakan ratusan sampai ribuan pelaku, baik bandar, pengedar, dan kurir.
Meskipun bertentangan dengan hukum, narkoba menjadi bisnis yang menggiurkan dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat dalam perdagangannya. Di Indonesia, peredaran maupun pengguna narkoba sebenarnya telah berlangsung sejak berabad lalu.
Kasus terbaru pekan ini, yaitu anggota Satuan Reserse Narkoba Polres Jakarta Barat menggerebek sebuah pabrik sabu rumahan, di salah satu perumahan di Kelurahan Pegadungan, Kalideres, Sabtu (22/6). Operator laboratorium berinisial MG (42), ditangkap saat sedang membuat sabu.
Sebelumnya, (19/6), Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menggagalkan penyelundupan 15 kilogram sabu dari Pelabuhan Marunda Jaya, Kabupaten Bekasi. Sabu itu diselipkan dalam mobil Nissan X-Trail bernomor polisi KB 128 R yang dikirim dari Pontianak, Kalimantan Barat, melalui jasa ekspedisi.
Peredaran dan pembuatan narkoba yang marak, menunjukkan upaya pemberantasan narkoba dari aparat kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) belum memberi efek jera. Para pelaku justru terus mencari cara mengelabui petugas demi memuluskan penyelundupan barang haram itu ke Tanah Air.
Medio Februari lalu, Ketua Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Heru Winarko mengatakan, pengguna narkoba di Indonesia saat ini mencapai 4 juta orang. Artinya permintaan pasokan ke Indonesia sangat besar dan potensial. Dulu, Nusantara hanya sebagai tempat transit narkotika dari Asia dan Eropa ke Australia dan Pasifik.
Pernyataan Indonesia sebagai pasar potensial narkoba pertama kali keluar dari mulut bos sindikat internasional asal Iran, Abas K yang kala itu ditahan di lembaga pemasyarakatan Bangkok, Thailand. Abas K merupakan pemasok besar narkoba ke Indonesia yang ditangkap di Bangkok.
"Dia mengatakan bahwa Indonesia adalah pasar potensial karena permintaannya naik terus dan harganya bagus," kata Mantan Deputi Bidang Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto, Selasa (25/6/2019), di Jakarta.
Saat ini ada sekitar 71 jenis narkotika yang sudah masuk dan beredar di Indonesia. Secara keseluruhan, terdapat sekitar 800 jenis narkotika di dunia dan diperkirakan akan terus bertambah.
Sejak zaman VOC
Capt R P Suyono dalam bukunya yang berjudul Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial, menjelaskan, narkoba sudah menjadi rebutan bernilai jual tinggi di Nusantara sejak zaman pendudukan Belanda. Bahkan, narkoba yang dulu dikenal dengan istilah candu telah lama dilegalisasi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Perdagangan candu kala itu memicu peperangan antara Kerajaan Lombok dengan Hindia Belanda karena kerajaan itu dulu memperdagangkan candu di Nusantara. Perdagangan candu saat itu dilakukan Pemerintah Hindia Belanda melalui VOC. Candu diangkut dari Benggala, India, ke Batavia (Jakarta) sejak tahun 1659.
Capt R P Suyono menyebutkan, sampai tahun 1744 penjualan candu resmi di Hindia Belanda meningkat cukup tinggi dan berdasarkan laporan pembukuan VOC telah mencapai 243.000 pon. Kemudian, tahun 1745, Gubernur Jenderal Van Imhoff mengambil kebijakan penjualan candu gelap dengan mengusulkan agar penjualan candu dilakukan oleh yayasan swasta, yang secara khusus bekerja sama dengan VOC untuk perdagangan candu.
Kebijakan itu membuat VOC secara sepihak meraup untung yang lebih besar. Artinya melalui kebiasaan penghisapan candu kala itu, Belanda berhasil mendapat uang sebanyak-banyaknya dari Nusantara. "Pada akhirnya akan kelihatan bahwa tanpa mengambil keuntungan dari candu, maka berat bagi Belanda untuk mempertahankan koloninya di Nusantara," tulis Capt R P Suyono.
Akibat kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu yang mulai terasa membahayakan masyarakat, terbit aturan pembatasan peredaran candu dan obat bius oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927. Aturan ini tertuang dalam Ordonansi Obat Bius Nomor 278 juncto 536 Tahun 1927.
Pasa zaman kemerdekaan, Pemerintah Indonesia meyempurnakan ordonansi obat bius dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam perjalanannya, selain undang-undang itu direvisi, pemerintah juga membentuk Badan Narkotika Nasional yang bertugas khusus memberantas dan mencegah peredaran narkoba.
Sulit diberantas
Data BNN menyebutkan, pada tahun 2018, ada 914 kasus yang diungkap. Dari jumlah itu, BNN menangkap 1.355 tersangka serta 53 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total aset Rp 229 miliar. Polri sendiri mengungkap 33.060 kasus dengan total tesangka berjumlah 43.320 tersangka.
Meski penangkapan terus dilakukan, Benny mengakui peredaran narkoba di Indonesia masih sulit diberantas. Dia menyarankan pemerintah memberdayakan para nelayan terutama pemberian edukasi karena nelayan merupakan mata dan telinga para aparat.
Hal itu karena penyelundupan narkoba sebagian besar dilakukan melalui laut. Menurut Benny, 80 persen narkoba diselundupkan melalui jalur laut. Pengiriman melalui jalur itu dinilai menguntungkan karena bisa mengangkut dalam jumlah besar, pengawasan perbatasan laut yang masih longgar, dan masih banyak pelabuhan tikus atau ilegal.
"Bisa juga disamarkan dengan barang lain untuk mengelebui petugas dan penyimpanan lebih aman," kata Benny.
Pemberantasan narkoba di Indonesia juga masih menjadi ironi, lantaran para pelaku yang ditangkap, justru kian bebas mengedarkan narkoba dari dalam Lembaga pemasyarakatan. Awal Februari 2019, Deputi Bidang Pemberantasan BNN Arman Depari, pernah mengungkapkan kekesalannya lantaran kerja keras petugas BNN, Polri, dan TNI, kadang kala dilecehkan dengan bebasnya pelaku mengedalikan peredaran narkoba dari Lapas.
Arman menyebutkan, kalau pihaknya hampir setiap hari menjalin kerja sama dengan pihak Lapas. Namun, keseriusan dalam memberantas narkoba di Lapas tak pernah diwujudkan atau masih sebatas wacana.