Indonesia Gulirkan Isu Multilateralisme hingga Ekonomi Digital
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas persiapan KTT ASEAN dan KTT G-20 di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (19/6/2019). Rapat terbatas ini dihadiri sejumlah menteri terkait. Presiden akan mengangkat isu ekonomi terutama perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta sampah plastik dalam kunjungan kerja KTT ASEAN serta membahas persiapan kunjungan kerja pada KTT G-20 di Osaka, Jepang.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan menegaskan dukungan terhadap perdagangan multilateral di KTT G-20, Osaka, Jepang, akhir pekan ini. Selain merespons eskalasi perang dagang Amerika Serikat dan China, Indonesia kembali menggulirkan isu ekonomi digital dan pembangunan manusia berkelanjutan.
Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman, selaku sherpa atau perwakilan representatif G-20 Indonesia, mengatakan, setidaknya ada tiga isu prioritas yang akan digulirkan Indonesia dalam pertemuan KTT G-20, yaitu terkait respons perang dagang AS-China, ekonomi digital, dan pembangunan manusia berkelanjutan.
Dalam pertemuan KTT G-20, Indonesia mendukung perdagangan internasional yang berdasarkan aturan sistem multilateral. Hal itu berlandaskan keyakinan bahwa perdagangan dan investasi menjadi sumber pertumbuhan yang amat penting bagi mayoritas negara di dunia. Indonesia, Singapura, dan Thailand juga hadir sebagai wakil ASEAN.
“Dalam draf deklarasi pemimpin akan disebutkan, negara anggota G-20 sepakat untuk mengurangi ketidakpastian perdagangan global saat ini. Kesepakatan itu menjadi langkah penting,” kata Rizal yang dihubungi Kompas dari Osaka, Jepang, Rabu (26/6/2019).
Dalam pertemuan KTT G-20, Indonesia mendukung perdagangan internasional yang berdasarkan aturan sistem multilateral.
Salah satu langkah konkretnya dengan mendorong reformasi organisasi perdagangan dunia (WTO). Menurut Rizal, ada beberapa usulan Indonesia terkait reformasi WTO yang masuk dalam draf deklarasi pemimpin G-20. Namun, Rizal tidak merinci usulan itu secara spesifik karena masih dibahas lebih lanjut dalam pertemuan sherpa G-20.
Kawasan Dotonbori di Osaka, Jepang pada akhir Mei 2019. Osaka akan menjadi tuan rumah KTT G-20, 28-29 Juni 2019.
Rizal menambahkan, selain terkait perang dagang AS-China, isu prioritas lain yang akan dibahas Indonesia seputar ekonomi digital dan pembangunan berkelanjutan. Target pembangunan berkelanjutan (SDG) 2030 harus tercapai dengan meningkatkan pembangunan manusia dan memperluas cakupan kesehatan masyarakat.
“Penguatan peranan wanita juga penting dalam pembangunan yang inklusif,” kata Rizal.
Terkait ekonomi digital, pengajar hukum pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Adrianto Dwi Nugroho, berpendapat, Indonesia perlu mengusulkan suatu kerangka kerja multinasional dengan formulasi jenis pajak digital yang berprinsip keadilan. Pajak yang berkeadilan berarti seimbang antara penerimaan negara dan kepastian hukum wajib pajak.
Proposal layanan digital yang selama ini ada, seperti di Inggris dan Uni Eropa, hanya menggabungkan konsep dan prinsip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke dalam Pajak Penghasilan (PPh). Proposal pajak layanan digital itu justru menempatkan wajib pajak sebagai pihak yang terhakimi dari perkembangan ekonomi digital.
“Wajib pajak khususnya perusahaan multinasional merupakan aktor utama dalam ekonomi digital sehingga kepentingan-kepentingannya perlu diakomodasi oleh pemerintah,” kata Adrianto.
Wajib pajak khususnya perusahaan multinasional merupakan aktor utama dalam ekonomi digital sehingga kepentingan-kepentingannya perlu diakomodasi oleh pemerintah.
Di sisi lain, pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pada akhir pekan ini di Osaka, Jepang, dinanti banyak pihak. Hasilnya diharapkan bisa meredakan suhu perang dagang dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu.
Jika terealisasi, pertemuan di Osaka merupakan kesempatan pertama bagi kedua pemimpin negara itu untuk membahas sengketa perdagangan secara langsung sejak Trump menyatakan kesiapannya menargetkan 300 miliar dollar AS impor China untuk dikenai kenaikan tarif impor.
Trump telah mengenakan tarif 25 persen atas barang-barang impor China senilai 250 miliar dollar AS. China membalas dengan menerapkan tarif dengan jumlah setara terhadap ekspor AS ke China. Sejauh ini, 11 putaran negosiasi berhadapan dengan jalan buntu. (Kompas, 26/6/2019)