JAKARTA, KOMPAS – Di tengah tingginya ketergantungan Indonesia pada impor alat kesehatan, produk implan glaukoma dalam negeri siap dipasarkan secara massal. Produk ini merupakan wujud dari kolaborasi antara industri dan akademisi guna mendukung kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan alat kesehatan di masyarkat.
Secara resmi, produk implan glaukoma dengan merek dagang Virna Glaucoma Implant diluncurkan di Jakarta, Rabu (26/6/2019). Produk yang digunakan untuk pengobatan penyakit glaukoma ini merupakan hasil kolaborasi antara ilmuwan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) dengan PT Rohto Laboratories Indonesia.
Presiden Direktur PT Rohto Laboratories Indonesia Mukdaya Massidy menuturkan, produk ini memiliki daya saing yang tinggi dengan produk implan glaukoma lain yang selama ini masih diimpor dari luar negeri. Jika harga di pasaran mencapai sekitar Rp7 juta, Virna Glaucoma Implant bisa dipasarkan hanya sekitar 30 persen dari produk di pasaran.
“Produk ini sudah siap dipasarkan dan sudah mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan. Dengan harga yang lebih terjangkau, diharapkan bisa semakin banyak masyarakat yang membutuhkan bisa memanfaatkannya,” katanya.
Peneliti produk tersebut yang juga staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI-RSCM, Virna Dwi Oktariana menyampaikan, produk yang ia kembangkan didesain menggunakan material “polymethyl methacrylate (PMMA)”. Bahan ini dinilai lebih nyaman dan aman, serta mudah dimodifikasi dibanding dengan produk lain yang menggunakan bahan biomaterial jenis silikon.
Glaukoma merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kerusakan saraf mata yang berkaitan dengan peningkatan tekanan bola mata. Tekanan ini diakibatkan karena adanya hambatan aliran cairan dalam bola mata. Kerusakannya bersifat permanen yang dapat berisiko pada kebutaan.
Implan glaukoma merupakan metode terakhir yang dipilih untuk mengatasi glaukoma jika berbagai pengobatan untuk menurunkan tekanan bola mata tidak berhasil. Tindakan implant biasanya diindikasikan pada pasien yang tidak merespon terapi medis maksimal atau gagalnya prosedur operasi trabekulektomi.
Hilirisasi
Pelaksana Harian Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Kuwat Sri Hudoyo mendorong agar kerjasama antara industri dan akademisi semakin banyak dilakukan, terutama kerjasama di bidang kesehatan. Kebutuhan alat kesehatan dalam negeri cukup besar.
Negara mengeluarkan anggaran untuk alat kesehatan sekitar Rp18 triliun per tahun. Dari jumlah itu, lebih dari 90 persen kebutuhan alat kesehatan diimpor. “Potensi penyerapan produk dalam negeri masih sangat besar. Untuk itu, dorongan produksinya harus lebih kuat,” katanya.
Ia memaparkan, perkembangan industri alat kesehatan dalam negeri tahun 2018 naik sekitar 13,22 persen dari tahun sebelumnya atau ada sebanyak 32 industri baru yang muncul. Sampai akhir 2018 tercatat ada sebanyak 274 industri alat kesehatan dalam negeri dengan 355 jenis alat kesehatan yang diproduksi.
Implan glaukoma merupakan metode terakhir yang dipilih untuk mengatasi glaukoma jika berbagai pengobatan untuk menurunkan tekanan bola mata tidak berhasil
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menambahkan, kendala yang saat ini dialami akademisi untuk bekerjasama dengan industri dalam hilirisasi hasil riset karena masih ada ketidakpercayaan yang timbul. Sejumlah industri masih menilai hasil riset yang dihasilkan akademisi berisiko untuk bisa diaplikasikan sebagai produk komersial.
“Intervensi pemerintah untuk mendorong kerjasama ini sangat dibutuhkan agar lebih banyak lagi hasil riset yang sampai pada tahap hilirisasi. Produk dalam negeri tentu bisa menurunkan biaya yang dikeluarkan dalam pemenuhan kebutuhan alat kesehatan di masyarakat,” ujarnya.