Cinta Indonesia dari Luar...
Carlo (7) asyik bermain dengan Marina (3), adiknya, di teras Kafe A Tavola di Largo Settimio Severo, Milan, Italia. Kalimat jenaka, dalam bahasa Italia, telontar dari mulut mungil kedua anak itu.
”Carlo, bisakah berbahasa Indonesia?” tanya seorang pengunjung kafe yang merupakan anggota komunitas warga Indonesia di kota pusat mode Italia itu. Carlo pun dengan lugas menjawab, ”Bisa!” Dialog dalam bahasa Indonesia pun mengalir antara Carlo dan sejumlah warga Indonesia pada petang itu, akhir Mei lalu. Sesekali Marina menimpali dengan kata-kata Indonesia pula.
Rieska Wulandari, ibu dari kedua anak itu, tetap berstatus warga negara Indonesia. Suaminya, Andrea Costi, adalah warga negara Italia. Keluarga campuran ini tinggal di Milan lebih dari delapan tahun. Rieska belum berpikir untuk berpindah kewarganegaraan. Ia tetap mencintai Nusantara, yang ditularkan kepada anak-anaknya, dengan alasan yang sederhana. Tak semata karena nasionalisme.
Cara sederhana mencintai Indonesia, papar Rieska, adalah mengajari anak-anaknya untuk berbahasa Indonesia.
Hal sama dilakukan Yuth Marzuki, warga negara Indonesia yang lebih dari 20 tahun tinggal di Novara, Italia. Selain pernah bersuamikan orang Italia, ia punya menantu warga Italia pula.
”Dengan berbahasa Indonesia, anak-anak akan ingat pada asal-usulnya. Hal ini juga cara praktis agar saat pulang kampung, anak-anak tak merasa terkucil dan bisa berkomunikasi dengan keluarga besarnya,” ujar Rieska yang pernah bekerja di Pusat Promosi dan Perdagangan Indonesia (PPPI) di Milan.
Pesan ibu
Rieska mengisahkan, saat melahirkan Carlo di Milan, ibundanya datang dari Indonesia untuk mendampingi. ”Saat itu ibu saya berpesan agar anak-anak nanti diajari berbahasa Indonesia, biar bisa ngobrol dengan mbah uti dan mbah kakung (nenek dan kakek) serta keluarga besar di Indonesia. Anak-anak bisa belajar berbagai bahasa. Embahnya sulit kalau harus belajar bahasa Italia,” ujarnya.
Mengikuti pesan ibunya, Rieska memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Faktor lingkungan membuat anaknya, terutama Carlo, berbahasa Indonesia dengan baik.
”Saya mendengar keluhan beberapa teman yang tinggal di luar negeri, tak menikmati momen pulang kampung karena anaknya sulit berkomunikasi dengan keluarga. Terkendala bahasa. Saya juga mengajari anak-anak saya untuk menggemari lagu-lagu Indonesia,” ucap Rieska.
Yuth ”memaksa” anak-anaknya kembali ke Indonesia saat liburan musim panas di Italia. Langkah itu untuk mengasah kemampuan berbahasa anak-anaknya dan juga agar mereka kian mencintai Tanah Air. ”Mereka memprotes. Tak sempat berlibur ke luar negeri jika musim panas,” ungkapnya, Selasa (25/6/2019).
Selain berbahasa Indonesia, Yuth dan anak-anaknya nyaris tak pernah absen mendukung pameran produk Indonesia yang rutin digelar di Milan. ”Keluarga kami di Italia, terutama ibu mertua saya, lebih senang dengan anak-anak yang dididik secara Indonesia pula. Mereka mempunyai tata krama dan ringan tangan membantu orang lain,” paparnya.
Namun, mendidik dengan keindonesiaan di Italia bukan tanpa masalah. Rieska mengisahkan, guru play group Carlo memprotes karena anak sulungnya itu terus berbahasa Indonesia. Ia pun membuatkan ”kamus” bahasa Indonesia-Italia untuk guru itu. Kini, Carlo berbicara dalam dua bahasa.
Masih ada Tatik Mulyadi, Intan NC Sibarani, Risky Trisniawati, dan Ketut Niken Aprilia di Milan serta Dewi di Turin yang menikah dengan pria Italia. Mereka mempunyai cara berbeda untuk tetap mencintai Indonesia, termasuk menggagas pembentukan komunitas antihoaks guna menangkal dan menjernihkan berita bohong tentang Tanah Air. Dewi dan Pietro, suaminya, mendirikan Warung Jawa, yang menawarkan menu Indonesia, termasuk nasi tumpeng, di Turin. Pelanggan warung itu sebagian adalah warga asing.
”Saya paling senang mengikuti perayaan kemerdekaan di Indonesia, setiap Agustus. Saya ingat pesan Bapak, yaitu biar hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri,” kata Tatik, alumnus Universitas Bergamo, yang lebih dari 25 tahun tinggal di Italia.
Dobel kewarganegaraan
Sebagai perempuan Indonesia, yang menikah dengan warga negara asing dan tinggal di luar negeri, Rieska cemas mengenai kewarganegaraannya dan anak-anaknya nanti. Di Tanah Air mereka seperti dilupakan. Di luar negeri, perempuan yang masih memegang paspor hijau (Indonesia) itu mendapatkan perlakuan berbeda dengan suami dan anak- anaknya.
”Mempertahankan kewarganegaraan Indonesia adalah kehormatan. Namun, hal ini menyulitkan untuk izin tinggal di luar negeri atau administrasi hak kami,” kata Rieska. Tak ingin terbebani, tak sedikit perempuan Indonesia mengubah status kewarganegaraannya. ”Saatnya dwikewarganegaraan diberlakukan. Indonesia tidak perlu kehilangan warganya dan akan banyak keuntungan didapat,” harapnya lagi.
Sebaliknya, Maria Ardianingtyas, advokat Indonesia yang tinggal di Milan, menyatakan, bukan sebuah persoalan jika anak-anak hasil perkawinan campur antarnegara memilih menjadi warga negara asing. Mereka tetap bisa berkontribusi untuk mencintai Indonesia dengan berbagai cara meski kecil, seperti mengenalkan lagu-lagu Nusantara....