Wakil Bupati Gunung Kidul Minta Tak Ada Aturan Diskriminatif
Wakil Bupati Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Immawan Wahyudi, menyatakan, tidak boleh ada aturan publik yang bersifat diskriminatif. Oleh karena itu, dalam penyusunan aturan yang bersifat publik, Immawan meminta semua pihak untuk memegang teguh prinsip kesetaraan dan penghormatan kepada semua kelompok.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
WONOSARI, KOMPAS — Wakil Bupati Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Immawan Wahyudi menyatakan, tidak boleh ada aturan publik yang bersifat diskriminatif. Oleh karena itu, dalam penyusunan aturan yang bersifat publik, Immawan meminta semua pihak untuk memegang teguh prinsip kesetaraan dan penghormatan kepada semua kelompok.
”Dalam peraturan publik itu memang tidak boleh ada yang bersifat diskriminatif. Jadi kita sesuai norma saja,” ungkap Immawan saat dihubungi Kompas, Selasa (25/6/2019) sore.
Pernyataan Immawan itu menanggapi terbitnya surat edaran tentang kewajiban memakai seragam berupa busana muslim di SD Negeri Karatengah III, Gunung Kidul. Foto surat tersebut beredar luas di media sosial sejak Senin (24/6/2019) dan menimbulkan kontroversi karena dinilai sebagai aturan yang diskriminatif.
Dalam surat tertanggal 18 Juni 2019 itu disebutkan, pada tahun pelajaran 2019/2020, siswa-siswi baru kelas I wajib memakai seragam berupa busana muslim. Sementara siswa-siswi kelas II hingga kelas VI belum diwajibkan memakai seragam busana muslim.
Namun, surat tersebut juga menyatakan, pada tahun pelajaran 2020/2021, semua murid di SDN Karangtengah III wajib memakai seragam berupa busana muslim. Untuk murid laki-laki, seragamnya berupa kemeja lengan pendek dan celana panjang. Sementara itu, untuk murid perempuan, seragamnya berupa kemeja lengan panjang, jilbab, dan rok panjang.
Sesudah menimbulkan polemik, surat itu telah direvisi. Dalam surat hasil revisi yang dikeluarkan pada Selasa ini, aturan yang mewajibkan murid kelas I memakai busana muslim sudah tidak ada.
Pada poin pertama surat hasil revisi itu disebutkan, pada tahun pelajaran 2019/2020, peserta didik baru kelas I yang beragama Islam dianjurkan memakai seragam dengan pakaian muslim. Sementara itu, bagi murid kelas II sampai kelas VI belum dianjurkan memakai seragam berupa pakaian muslim. Namun, murid-murid kelas II sampai kelas VI yang ingin mengganti seragamnya dianjurkan menggunakan seragam dengan pakaian muslim.
Immawan menyatakan, Bupati Gunung Kidul Badingah telah memerintahkan agar surat edaran tersebut direvisi. Perintah tersebut telah ditindaklanjuti oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) Gunung Kidul sehingga surat tersebut akhirnya direvisi. ”Perintah untuk revisi itu maksudnya supaya tidak timbul kontroversi,” ungkapnya.
Immawan berharap, penerbitan surat edaran tersebut tidak dikaitkan dengan persoalan politik ataupun radikalisme agama. Sebab, berdasarkan informasi yang diterimanya, surat edaran tersebut tak berkait dengan hal-hal itu.
”Mungkin dia (Kepala SDN Karantengah III) membuat aturan itu karena kebetulan di SDN Karangtengah III itu muridnya Muslim semua. Jadi, kalau dikaitkan dengan radikalisme, itu kejauhan,” ujar Immawan.
Ke depan, Immawan juga mengingatkan agar semua pihak di Gunung Kidul untuk memperhatikan prinsip kesetaraan saat membuat aturan yang bersifat publik. ”Ketika membuat peraturan yang bersifat publik, prinsip-prinsip kesetaraan, penghormatan kepada semua kelompok, dan keterbukaan harus dijunjung tinggi,” ungkapnya.
Ketika membuat peraturan yang bersifat publik, prinsip-prinsip kesetaraan, penghormatan kepada semua kelompok, dan keterbukaan harus dijunjung tinggi.
Sebelumnya, Kepala SDN Karangtengah III Pujiastuti menuturkan, pembuatan surat edaran itu berawal dari pertemuan pihak sekolah dan wali murid beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, pihak sekolah menyarankan para murid memakai seragam berupa busana muslim untuk memudahkan siswa-siswi saat menjalankan shalat di sekolah.
Menurut Pujiastuti, para wali murid menyetujui saran tersebut. Namun, mereka meminta pergantian seragam dilakukan secara bertahap. ”Kami sarankan untuk memakai pakaian panjang (busana muslim) supaya pada saat mengerjakan ibadah itu tidak ribet. Sampai hari ini, tidak ada wali murid yang bilang ke saya merasa keberatan,” tuturnya.
Namun, setelah muncul kontroversi, surat tersebut akhirnya direvisi. Pujiastuti pun mengakui adanya kesalahan dalam pembuatan surat edaran itu. ”Kami mengakui ada kesalahan. Saya sudah membuat surat pembetulan,” ungkapnya.