Pemerintah Bergerak Cepat Menyiapkan Revisi UU Perkawinan
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menyelesaikan naskah akademis dan menyusun draf Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama tim pemerintah dari kementerian/lembaga yang terkait terus menggelar kelompok diskusi terarah. Selain membahas proses revisi UU tersebut, diskusi juga membahas berbagai aspek hukum yang terkait dengan peningkatan usia perkawinan anak.
Gerak cepat dilakukan tim pemerintah, mengingat masa kerja anggota DPR periode 2014-2019 semakin singkat. Karena itu, pemerintah menargetkan revisi Pasal 7 Ayat 1 UU 1/1974 terkait usia minimal perempuan menikah, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 13 Desember 2018, dilakukan secepatnya sebelum masa kerja DPR berakhir.
“Kita tetap mengikuti peraturan yang ada, tapi upaya untuk revisi UU Perkawinan dipercepat mengingat waktu DPR yang singkat,” ujar Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N Rosalin, Selasa (25/6/2019), saat kelompok diskusi terarah di Jakarta.
Diskusi yang membahas revisi UU Perkawinan, mendengarkan pandangan ahli hukum dari Universitas Diponegoro Semarang, Dr Yunanto. Hadir juga dalam diskusi tersebut antara lain Benny Riyanto (Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan), Hanung Cahyono (Kantor Staf Presiden), dan sejumlah pejabat dari kementerian/lembaga terkait, termasuk dari unsur masyarakat sipil.
Seperti diberitakan, MK Pada 13 Desember 2018 memutuskan bahwa perkawinan anak, khususnya perempuan berusia 16 tahun, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 7 Ayat (1) UU No 1/1974 yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun dinilai diskriminatif.
Adapun Pasal 7 Ayat (1) berbunyi, ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk UU dalam jangka waktu tiga tahun mengubah UU itu.
Menanggapi putusan tersebut sejak akhir tahun 2019, Menteri PPPA langsung bergerak bersama kementerian/lembaga terkait. Berbagai persiapan dilakukan termasuk grup diskusi terarah. Jika semua sudah siap, maka Presiden akan mengirim surat ke DPR untuk pembahasan revisi UU tersebut.
“Setelah hari ini kami lanjutkan dengan konsinyering untik memperdalam Naskah Akademis dan draft RUU membahas berbagai aspek yang terkait peningkatan usia perkawinan anak,” kata Lenny.
Sangat penting
Benny Riyanto dalam diskusi tersebut menegaskan bahwa revisi UU Perkawinan sangat penting karena merupakan amanat dari putusan MK. Karena putusan MK yang terkait dengan UU 1/1974 tidak hanya satu melainkan ada tiga. Sebelum putusan MK akhir 2018, Nomor 22/PUU-XV/2017, ada dua putusan MK yang lain terkait UU tersebut, yakni putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait perjanjian perkawinan dan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Mengenai revisi UU No 1/1974, menurut Benny, memang belum masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2019. Namun, proses revisi bisa dilakukan karena putusan MK masih dalam ketentuan Kumulatif Terbuka, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU No 12 Tahun 2011 Jo Pasal 22 Perpres 87 Tahun 2014.
Dalam aturan tersebut, untuk proses kumulatif terbuka karena putusan MK tidak perlu mengajukan permohonan ijin prakarsa pada Presiden. “Itu berarti melewati jalan tol karena ini adalah amanat putusan MK,” kata Benny.
Kendati demikian, walaupun persyaratan tinggal tunggu surat presiden kepada DPR untuk dibahas, tetapi dalam Pasal 23 UU 12 Tahun 2011 harus dipenuhi naskah akademik; surat keterangan penyelarasan naskah akademik dari menteri; RUU; surat keterangan telah selesainya pelaksanaan rapat panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian dari pemrakarsa; dan surat keterangan harmonisasi di Kementerian Hukum Dan HAM.
“Insya allah semua berusaha bersama-sama. Ini memang kita akan berjuang untuk ikutkan pada pembahasan tahun 2019. Walaupun untuk 2019 masa kerja anggota DPR sampai Oktober,” papar Benny.
Adapun Yunanto, menyatakan batasan usia untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, sebetulnya itu merupakan pancaran dari salah satu dari asas-asas perkawinan. Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkrit. Asas hukum diibaratkan jantungnya peraturan hukum, sebab merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
Asas tersebut bisa diubah menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Terkait batas usia perkawinan yang menjadi salah syarat perkawinan, disebutkan bahwa UU tersebut menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
“Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur,” katanya Yunanto.