Memasuki musim kemarau, volume air di sejumlah embung di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai menyusut. Bila tidak ada hujan dalam beberapa waktu ke depan, sebagian embung itu diperkirakan mengering dalam waktu 2-3 bulan. Padahal, embung-embung itu menjadi sumber air untuk lahan pertanian dan perkebunan di sekitarnya.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
WONOSARI, KOMPAS – Memasuki musim kemarau, volume air di sejumlah embung di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai menyusut. Bila tidak ada hujan dalam beberapa waktu ke depan, sebagian embung itu diperkirakan mengering dalam waktu 2-3 bulan. Padahal, embung-embung itu menjadi sumber air untuk lahan pertanian dan perkebunan di sekitarnya.
Embung yang volumenya mengalami penyusutan itu antara lain Embung Nglanggeran yang berlokasi di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, serta Embung Batara Sriten yang berada di Desa Pilangrejo, Kecamatan Nglipar.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (24/6/2019), ketinggian muka air di Embung Nglanggeran mulai berkurang. Padahal, selain dimanfaatkan untuk obyek wisata, embung itu juga dipakai untuk mengairi kebun buah yang dikelola oleh Kelompok Tani Kebun Buah Kencono Mukti, Nglanggeran.
“Dalam kondisi penuh, volume air di Embung Nglanggeran bisa mencapai 12.000 meter kubik. Tapi sekarang tinggal sekitar 8.000 meter kubik,” kata Ketua Kelompok Tani Kebun Buah Kencono Mukti, Sutardi, saat ditemui di Nglanggeran, Senin siang.
Air di Embung Nglanggeran menjadi sumber pengairan bagi kebun buah seluas 20 hektar (ha) yang ditanami pohon durian dan kelengkeng. “Ada 2.800 batang pohon durian di kebun ini, tetapi yang hidup normal hanya sekitar 1.500 batang. Sementara itu, jumlah pohon kelengkeng sekitar 200 batang,” tutur Sutardi.
Menurut Sutardi, saat ini, pohon-pohon durian di kebun buah itu sudah mulai berbunga dan diperkirakan bisa dipanen pada November-Desember 2019. Oleh karena itu, pohon-pohon durian tersebut harus disirami secara rutin. “Untuk mengairi pohon durian sebanyak itu kan butuh banyak air,” katanya.
Dalam kondisi penuh, volume air di Embung Nglanggeran bisa mencapai 12.000 meter kubik. Tapi sekarang tinggal sekitar 8.000 meter kubik
Sutardi memaparkan, apabila tidak ada hujan dalam beberapa waktu mendatang, air di Embung Nglanggeran diperkirakan habis dalam waktu 2-3 bulan ke depan. Oleh karena itu, bila hujan tak turun, embung tersebut diperkirakan mengering pada September. Sementara itu, musim kemarau diprediksi baru berakhir pada Oktober.
Sutardi menuturkan, apabila Embung Nglanggeran mengering sebelum musim kemarau berakhir, para petani terpaksa membeli air dengan harga sekitar Rp 150.000 per tangki ukuran 5.000 liter. “Tahun lalu, kami juga terpaksa membeli air sampai habis Rp 50 juta karena embung sudah mengering,” ungkap dia.
Sebenarnya, selain Embung Nglanggeran yang berukuran besar, di Nglanggeran juga terdapat beberapa embung ukuran kecil yang bisa dimanfaatkan untuk pengairan kebun buah. Namun, memasuki musim kemarau ini, embung-embung ukuran kecil tersebut juga mulai mengering.
Sutardi menambahkan, saat ini, Kelompok Tani Kebun Buah Kencono Mukti juga tengah membuat sumur bor sebagai sumber air alternatif selain Embung Nglanggeran. Namun, sampai sekarang, pembuatan sumur bor itu belum menemukan sumber air. “Padahal, sudah dibor sampai kedalaman 110 meter, tapi belum keluar air,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Ngudi Tani Sriten, Radata, mengatakan, volume air Embung Batara Sriten saat ini juga mulai berkurang. Dalam kondisi penuh, volume air di embung yang juga menjadi obyek wisata itu bisa mencapai 10.000 meter kubik. Namun, saat ini, volumenya tinggal sekitar 8.000 meter kubik.
Meski begitu, Radata meyakini, air yang ada di Embung Batara Sriten masih cukup untuk mengairi lahan pertanian di sekitarnya hingga musim kemarau berakhir. Apalagi, luas lahan pertanian yang mengambil air dari Embung Batara Sriten juga tidak terlalu luas, hanya sekitar 3-4 hektar. “Penggunaan air embung memang kami batasi,” katanya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunung Kidul, Raharjo Yuwono, mengatakan, musim kemarau tahun ini memang datang lebih awal. Dia menuturkan, tahun ini, musim kemarau di Gunung Kidul datang pada pekan ketiga April. Padahal, tahun lalu, musim kemarau baru dimulai pada akhir Mei.
“Tahun ini, hujannya berhenti cepat sekali. Minggu ketiga April sudah berhenti. Padahal, tahun 2018, hujan baru berhenti akhir Mei,” tutur Raharjo.