Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif Sofyan Basir dinilai membantu mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih menerima suap senilai 900 juta dollar AS atau setara Rp 12,7 triliun dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo pada proyek PLTU Riau-1.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif Sofyan Basir didakwa telah membantu terjadinya suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 antara pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Sofyan dinilai membantu Eni menerima suap dari proyek senilai 900 juta dollar AS atau setara Rp 12,7 triliun tersebut.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald FW dalam persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Sofyan Basir, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/6/2019), menyebutkan, Sofyan memfasilitasi Eni dalam mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi, Blackgold Natural Resources Limited (BNR), dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC).
Dengan penunjukan dua perusahaan swasta itu, Eni dan Idrus menerima imbalan sebesar Rp 4,75 miliar dari Kotjo yang memegang sebagian saham BNR dan juga berperan sebagai agen CHEC. Padahal, menurut jaksa, Sofyan dari awal telah mengetahui bahwa Eni dan Idrus akan menerima imbalan apabila perusahaan yang diwakili Kotjo tersebut mendapat proyek PLTU Riau-1.
Untuk itu, Sofyan dijerat dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 12 Huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 56 Ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 Ke-2 KUHP.
Apabila terbukti melakukan praktik suap seperti yang sudah diatur dalam Pasal 12 a UU Tipikor, Sofyan terancam pidana kurungan paling sedikit 4 tahun. Sementara itu, Pasal 15 UU Tipikor mengatur mengenai adanya pemufakatan jahat ataupun pembantuan yang dilakukan dalam sebuah tindakan korupsi.
”Terdakwa dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan, yakni memfasilitasi antara Eni Maulani Saragih, Idrus Marham, dan Johanes Budisutrisno Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN,” kata Ronald.
Sepuluh kali bertemu
Jaksa menyebutkan, Sofyan telah bertemu dengan Eni sepuluh kali dalam periode 2016-2018 untuk membicarakan pemberian proyek PLTU Riau-1 kepada perusahaan yang dibawa Kotjo. Pada sepuluh pertemuan itu, Kotjo hadir dalam tujuh pertemuan. Pertemuan dilakukan di sejumlah tempat, antara lain di Gedung DPR, kediaman mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, sejumlah restoran di hotel berbintang dan pusat perbelanjaan, serta kediaman Sofyan.
Di salah satu pertemuan yang digelar di sebuah hotel di Jakarta antara 2016 dan awal 2017, jaksa menyebut Sofyan menyambut permintaan Kotjo untuk dilibatkan dalam pembangunan proyek PLTU Riau-1.
”Ya sudah, kamu di Riau saja, jangan mikirin di Jawa karena sudah melebihi kapasitas,” kata jaksa mengulang pernyataan Sofyan kepada Kotjo.
Beberapa bulan kemudian pada 2017, Sofyan memastikan Kotjo akan mendapatkan proyek PLTU Riau-1 melalui skema penunjukan langsung.
Jaksa mengatakan, sejak awal, Sofyan telah mengetahui Eni akan memperoleh imbalan dari Kotjo apabila proyek PLTU Riau-1 jatuh ke tangan Kotjo.
Dalam pertemuan pertama antara Eni dan Sofyan di Gedung DPR pada 2016, Eni mengatakan, dirinya ditugaskan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto untuk mengawal Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1. Tujuannya adalah mencari dana untuk Partai Golkar menghadapi pemilu legislatif.
Pertemuan pertama Eni dan Sofyan tersebut adalah tindak lanjut dari permintaan Kotjo kepada Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar untuk mendapatkan akses ke PLN perihal proyek PLTU Riau-1.
Jaksa juga mengatakan, guna mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1, Sofyan telah menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement) antara PLN dan perusahaan konsorsium pada 29 September 2017 sebelum penandatanganan letter of intent (LoI).
Modifikasi pasal
Mengenai dakwaan dan uraian fakta yang disampaikan jaksa, penasihat hukum Sofyan, Soesilo Aribowo, menyampaikan keberatan atau eksepsi. Keberatan terhadap dakwaan ini berdasarkan tujuh alasan.
Salah satu alasan adalah penerapan Pasal 15 UU Tipikor yang dihubungkan dengan Pasal 56 Ke-2 KUHP. Soesilo menilai, penggunaan dua pasal dengan unsur-unsur yang sama membuat surat dakwaan menjadi kabur.
Penggunaan Pasal 56 Ke-2 KUHP yang mengatur tentang pembantuan yang mendahului tindak kejahatan juga dinilai Soesilo tidak bisa diterapkan kepada Sofyan sebab kesepakatan suap antara Eni dan Kotjo sudah terjadi.
Alasan lain, perbedaan pasal antara yang diterapkan penyidik dan penuntut umum. Soesilo mengatakan, melalui surat perintah penyidikan tertanggal 22 April 2019, penyidik menggunakan Pasal 12 a dan 12 b UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 atau Pasal 56 Ke-2 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Hal ini berbeda dengan yang dibacakan oleh jaksa. Dalam surat dakwaan, Pasal 12 b hilang dan digantikan dengan Pasal 15 UU Tipikor. ”Bahwa jika mencermati surat dakwaan, maka akan secara jelas dan nyata dapat dibaca telah terjadi perubahan pasal yang didakwakan kepada terdakwa Sofyan Basir,” kata Soesilo.
Berdasarkan pada hal-hal itu, ia meminta surat dakwaan dibatalkan.
Jaksa meminta waktu satu pekan untuk dapat memberikan tanggapan secara tertulis. Dengan demikian, sidang dilanjutkan pada Senin, 1 Juli 2019.