JAKARTA, KOMPAS — Layanan telekomunikasi seluler berteknologi akses 4G LTE telah menjadi persyaratan utama dalam membangun infrastruktur jaringan. Sebab, teknologi 4G LTE dinilai lebih efisien dalam pemakaian spektrum frekuensi dan ongkos operasionalisasi.
Selain itu, teknologi 4G LTE memiliki latensi 30-50 milidetik dan kecepatan puncak LTE 100 megabita per detik sehingga mampu memenuhi kebutuhan akses internet yang cepat.
”Persyaratan utama pembangunan infrastruktur jaringan bukan lagi 2G. Sekarang, 4G LTE telah menjadi tuntutan pembangunan. Meskipun di beberapa lokasi yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah dan tidak perlu bandwidth besar, 2G masih cocok digunakan,” ujar Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono, Minggu (23/6/2019), di Jakarta.
Dari sisi ekosistem 4G LTE, tambah Kristiono, ponsel pintar yang menunjang 4G LTE sudah marak. Sementara hal terpenting adalah harga yang semakin terjangkau. Kondisi ini mendukung penetrasi 4G LTE, terutama di luar Jawa.
”Sampai dengan 2020, saya rasa pembangunan infrastruktur jaringan dan layanan telekomunikasi seluler berteknologi 4G LTE tetap berjalan. Operator sekarang masih mendorong perluasan pasar layanan 4G LTE. Lima tahun mendatang pasti beda lagi, topiknya pasti memulai penggelaran layanan komersial 5G,” katanya.
Menurut Kristiono, dilihat dari sisi populasi, tingkat penetrasi 4G LTE sudah menyamai 3G, yaitu di atas 85 persen terhadap total populasi. Kini, tantangan utama penyelenggaraan 4G LTE adalah menjaga mutu dan kualitas layanan.
Hutchison Tri Indonesia memiliki total lebar pita 50 MHz, Indosat Ooredoo 95 MHz, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia 15 MHz, dan Smartfren 22 MHz. Kemudian, Smarttel mempunyai total lebar pita 30 MHz, Telkomsel 135 MHz, dan XL Axiata 90 MHz.
Dengan demikian, jumlah keseluruhan lebar pita mencapai 437 MHz. Data 437 MHz ini terakumulasi sejak 2006 sampai sekarang.
Kristiono mengatakan, tingkat penetrasi layanan seluler berteknologi akses 3G di atas 85 persen. Layanan seluler berteknologi akses seluler 3G diluncurkan di Indonesia sekitar September 2006. Namun, karakteristik teknologi 3G tidak efisien dalam pemakaian spektrum frekuensi.
”Di tengah keterbatasan jumlah lebar pita yang dimiliki operator, saya berpendapat memang perlu ada satu generasi teknologi akses seluler yang ’dihilangkan’. Tentunya semuanya membutuhkan perhitungan investasi yang cermat dan tidak mudah. Pemerintah pun harus cerdas untuk urusan manajemen spektrum frekuensi,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menjelaskan, sejak layanan 4G LTE resmi diluncurkan secara komersial di Indonesia pada Desember 2015 sampai sekarang, penetrasinya telah mencapai sekitar 90 persen dari populasi penduduk. Untuk menambah kualitas 4G LTE, Kementerian Kominfo mendorong kehadiran jaringan tulang punggung pita lebar agar lebih merata.
Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk Merza Fachys mengemukakan, sampai dengan akhir 2018, Smartfren memiliki sekitar 19.000 unit pemancar berteknologi akses 4G LTE. Seluruh pelanggan Smartfren adalah pengguna 4G LTE.
Merza mengklaim tingkat keterpakaian jaringan 4G di Smartfren saat ini di atas 50 persen. Perusahaan akan melanjutkan pembangunan infrastruktur jaringan berteknologi 4G LTE sampai dengan akhir tahun. Pada saat bersamaan, Smartfren sedang menguji coba jaringan 5G di salah satu pabrik minyak goreng di kawasan industri Marunda, Bekasi, Jawa Barat.
”Di negara lain juga belum menggelar layanan telekomunikasi seluler 5G secara komersial. Masih menunggu penetapan standar spektrum frekuensi internasional,” ujarnya. (MED)