Tantangan Menjaga Identitas Jakarta
Hilangnya perkampungan karena digusur oleh gedung-gedung tinggi turut menghilangkan identitas asli Jakarta.
Ribuan rumah berdempetan di antara impitan belantara gedung pencakar langit. Dikelilingi gedung-gedung membuat sebagian cahaya matahari tidak sampai ke permukiman warga karena terhalang bangunan pencakar langit.
Terhalangnya sinar matahari menjadikan sebagian kawasan itu menjadi gelap, seakan sejalan dengan nasib terus menghilangnya perkampungan yang telah disulap menjadi gedung-gedung tinggi.
Demikianlah tampilan permukiman di Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019). Menurut catatan Kompas, kampung dan permukiman wilayah ini semakin tahun semakin menyusut dan berganti menjadi saluran air bantaran Sungai Ciliwung dan gedung-gedung perkantoran.
Menurut pemberitaan Kompas, 24 Februari 1977, berjudul ”Tetap Rp 37.500,-/KK Buat Warga Karet Tengsin yang Tergusur”, disebutkan sebanyak 618 keluarga (KK) hendak dipindahkan untuk normalisasi saluran air pencegah banjir di Sungai Ciliwung.
Pada pemberitaan Kompas, 17 Mei 1988, berjudul ”Belum Berhasil Pengosongan Rumah 37 KK di Karet Tengsin” disebutkan ada 37 KK yang hendak dipindahkan lantaran memiliki sengketa tanah. Total luas tanah 37 KK itu 5.000 meter persegi dengan perusahaan swasta.
Sampai saat ini pun nasib perkampungan di Ibu Kota tak berubah. Terus tergusur digantikan pembangunan yang ingin menyulap Jakarta menjadi lebih modern.
Ini tantangan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini. Perkampungan ini adalah identitas Jakarta yang terancam hilang dan berganti rupa dengan permukiman dan perkantoran modern.
Pengamat agraria, Noer Fauzi Rachman, menjelaskan, kampung-kampung di Jakarta semakin terancam eksistensinya. Kampung-kampung itu terkepung oleh berbagai pembangunan permukiman vertikal dan perkantoran.
Ia mencontohkan perkampungan yang berada di kawasan Karet Tengsin. Di sekelilingnya sudah dibangun gedung-gedung modern menggantikan daerah yang sebelumnya kampung. ”Posisi kampung yang berada di tengah kota itu terancam hilang oleh berbagai tekanan pembangunan,” ujar Fauzi, Kamis (20/6/2019).
Hilangnya suatu perkampungan, lanjut Fauzi, juga menghilangkan identitas suatu wilayah. Ia mencontohkan hilangnya memori warga akan banyaknya pohon bayur di daerah Kebayoran. Kini, Kebayoran lebih dikenal sebagai permukiman di Jakarta Selatan. ”Alih fungsi agraria yang digerakkan arus modal ini tumbuh dan memakan perkampungan serta menghilangkan identitas daerah,” ujar Fauzi.
Pembangunan dan perubahan kampung menjadi kota modern terus terjadi. Beroperasinya moda transportasi massal modern, seperti MRT dan LRT, lanjut Fauzi, adalah wujud keinginan Jakarta untuk tampil dalam wajah metropolitan yang modern.
Fauzi mengatakan, hal ini bukannya tidak baik, tetapi seakan makin meminggirkan warga perkampungan yang telah tinggal terlebih dulu sebelum pembangunan itu ada. ”Menjadi tugas negara agar alih fungsi agraria dalam kerangka pembangunan Ibu Kota ini janganlah sampai meminggirkan rakyat kecil di perkampungan. Tugas negara adalah memberikan keadilan dengan memberikan mereka juga hidup yang layak,” ujar Fauzi.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia Damar Panca mengatakan, Jakarta adalah tempat mata pencarian bersama jutaan orang. Maka, pembangunan seharusnya didistribusi secara adil dan dirasakan semua masyarakat.
”Pembangunan itu jangan makin meminggirkan rakyat kecil dan buruh. Namun, justru beri mereka sentuhan kehadiran negara sehingga bisa sama-sama hidup dengan layak,” ujar Damar.
Peluang baru
Pendapat lain dikemukakan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang. Ia menilai pembangunan Jakarta sudah berada di jalan yang benar. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Ibu Kota tahun 2018 yang mencapai 6,17 persen, yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,17 persen.
”Jakarta adalah barometer pertumbuhan ekonomi nasional. Pembangunannya sudah mencerminkan hal itu,” ujar Sarman.
Ia mengatakan, pembangunan berbagai transportasi massal baru, seperti MRT dan LRT, adalah wajah baru Ibu Kota yang modern. Pembangunan ini memberikan banyak peluang usaha baru bagi masyarakat.
”Transportasi massal itu meningkatkan efisiensi dan percepat waktu tempuh. Hal ini meningkatkan mobilitas masyarakat dan jasa. Ini peluang baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Sarman.
Meski demikian, ia mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah Provinsi DKI di bidang ekonomi. Pekerjaan rumah itu antara lain mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar naik kelas menjadi pengusaha menengah ke atas.
Mendorong pertumbuhan pengusaha UMKM bisa memperluas lapangan pekerjaan yang pada skala luas mendorong pertumbuhan ekonomi. ”Di Jakarta ada sekitar 1 juta pengusaha UMKM yang tersebar di sejumlah pasar dan kaki lima. Keuletan mereka ini jadi motor ekonomi yang potensial apabila digarap dengan baik,” ujar Sarman.
Selain itu, Sarman juga mendorong pemerintah provinsi untuk semakin mempermudah proses perizinan bagi pengusaha. Hal ini perlu dilakukan untuk bisa mengundang investasi yang masuk. Investasi ini menjadi dana pembangunan yang bisa menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan perekonomian.
Sarman mengatakan, apabila Ibu Kota jadi dipindahkan, Jakarta akan sepenuhnya menjadi kota bisnis dan jasa. Hal ini menjadi identitas baru Jakarta. Maka dari itu, semua pemangku kepentingan harus mempersiapkan diri untuk mewujudkan Jakarta menjadi pusat ekonomi, bisnis, dan jasa di Indonesia.