Pembangunan Jakarta Munculkan Dua Sisi
Pada usia ke-492 tahun, Jakarta terus membangun. Sebagian hasil pembangunan sudah menampakkan hasil. Namun, perbaikan tetap diperlukan di banyak hal.
Pada usia ke-492 tahun, Jakarta terus membangun. Sebagian hasil pembangunan sudah menampakkan hasil. Namun, perbaikan tetap diperlukan di banyak hal.
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan di Jakarta sudah membaik, ditandai dengan berkembangnya infrastruktur kota, seperti moda angkutan massal. Di sisi lain, pembangunan juga menyingkirkan identitas wilayah khas Jakarta.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang menilai, pembangunan Jakarta sudah di jalan yang benar. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Ibu Kota pada 2018 yang mencapai 6,17 persen, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,17 persen.
”Jakarta adalah barometer pertumbuhan ekonomi nasional. Pembangunannya sudah mencerminkan hal itu,” ujar Sarman.
Ia mengatakan, pembangunan berbagai transportasi massal baru, seperti MRT dan LRT, adalah wajah baru Ibu Kota yang modern. Pembangunan ini memberikan banyak peluang usaha baru bagi masyarakat.
”Transportasi massal itu meningkatkan efisiensi dan percepat waktu tempuh. Hal ini meningkatkan mobilitas masyarakat dan jasa. Ini peluang baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Sarman.
Meski demikian, ia mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemprov DKI di bidang ekonomi. Pekerjaan rumah itu antara lain mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar naik kelas menjadi pengusaha menengah ke atas.
Mendorong pertumbuhan pengusaha UMKM bisa memperluas lapangan pekerjaan yang pada skala luas mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Di Jakarta ada sekitar 1 juta pengusaha UMKM yang tersebar di sejumlah pasar dan kaki lima. Keuletan mereka ini jadi motor ekonomi yang potensial apabila digarap dengan baik,” ujar Sarman.
Selain itu, Sarman juga mendorong pemerintah provinsi untuk semakin mempermudah proses perizinan bagi pengusaha. Hal ini perlu dilakukan untuk bisa mengundang investasi yang masuk. Investasi ini menjadi dana pembangunan yang bisa menggulir lapangan kerja dan perekonomian.
Sarman mengatakan, apabila Ibu Kota jadi dipindahkan, Jakarta akan sepenuhnya menjadi kota bisnis dan jasa. Hal ini menjadi identitas baru Jakarta. Maka, semua pemangku kepentingan harus mempersiapkan diri mewujudkan Jakarta menjadi pusat ekonomi, bisnis, dan jasa di Indonesia.
Bagi Direktur Utama PT LRT Jakarta Allan Tandiono, pembangunan LRT Jakarta rute Kelapa Gading-Rawamangun adalah pertaruhan untuk memperlihatkan keberhasilan Jakarta di mata dunia. Pembangunan LRT yang biasanya dibangun 5 tahun dikebut dalam 1,5 tahun.
”Kalau kita lihat Malaysia, itu ada apa sih? LRT dan MRT. Kalau ngomong Singapura juga ada apa? LRT dan MRT. Sekarang Jakarta ada apa? LRT dan MRT. Berarti kita enggak kalah, dong,” ujar Allan di Stasiun Velodrome, kemarin.
Menurut pengamat tata kota dari Universitas Indonesia, Hendricus Andy Simarmata, itulah yang harusnya terjadi di Ibu Kota negara. Warga berangkat kerja dari rumah ke kantor kalau bisa tak lebih dari satu jam. ”Jadi, stigma tua di jalan itu sudah tak zamannya lagi. Masa di usia (Jakarta yang) setua ini warganya juga ikut tua di jalan,” katanya.
Permukiman kumuh
Andy berpendapat, dengan jumlah penduduk 10,2 juta orang, ruang Ibu Kota semakin sempit. Kawasan kumuh pun tak terhindarkan.
Permukiman kumuh di Jakarta tersebar di 118 dari 267 kelurahan atau hampir 45 persen dari total semua kelurahan. Luas permukiman kumuh itu mencapai 1.005,24 hektar. Mereka berada di tanah tak bertuan, seperti bantaran sungai, sepadan pantai, dan sekitar waduk.
Andy mengatakan, pengurangan beban yang dimaksud, seperti memperbaiki lingkungan dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru. Selain itu, permukiman kumuh juga mendesak ditata, dengan tetap memperhatikan aspek historis sosial-budaya setempat.
Di sisi lain, pembangunan di Jakarta juga berpotensi menyingkirkan kampung-kampung yang menjadi jati diri wilayah.
Pengamat agraria, Noer Fauzi Rachman, menjelaskan, kampung-kampung di Jakarta makin terancam eksistensinya. Kampung-kampung itu terkepung oleh berbagai pembangunan permukiman vertikal dan perkantoran.
Ia mencontohkan perkampungan di bilangan Karet Tengsin. Di sekelilingnya sudah dibangun gedung-gedung modern menggantikan daerah yang sebelumnya kampung. ”Posisi kampung di tengah kota itu terancam hilang oleh berbagai tekanan pembangunan,” ujar Fauzi, Kamis (20/6/2019).
Hilangnya suatu perkampungan, lanjut Fauzi, juga menghilangkan identitas wilayah. Ia mencontohkan hilangnya memori warga akan banyaknya pohon bayur di daerah Kebayoran. Kini, Kebayoran lebih dikenal sebagai permukiman di Jakarta Selatan. ”Alih fungsi agraria yang digerakkan arus modal ini tumbuh dan memakan perkampungan serta menghilangkan identitas daerah,” ujar Fauzi.
Pembangunan dan perubahan kampung menjadi kota modern terus terjadi. Beroperasinya moda transportasi massal modern, seperti MRT dan LRT, lanjut Fauzi, adalah wujud keinginan Jakarta untuk tampil dalam wajah metropolitan yang modern.
Fauzi mengatakan, hal ini bukannya tidak baik, tetapi seakan makin meminggirkan warga perkampungan yang telah tinggal terlebih dulu sebelum pembangunan itu ada.
”Menjadi tugas negara agar alih fungsi agraria dalam kerangka pembangunan Ibu Kota ini janganlah sampai meminggirkan rakyat kecil di perkampungan. Tugas negara adalah memberikan keadilan dengan memberikan mereka juga hidup yang layak,” ujar Fauzi.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia Damar Panca mengatakan, Jakarta adalah rumah mata pencarian bersama jutaan orang. Maka, pembangunan seharusnya didistribusi secara adil dan dirasakan semua masyarakat.
”Pembangunan itu jangan makin meminggirkan rakyat kecil dan buruh. Tetapi, justru beri mereka sentuhan kehadiran negara sehingga bisa sama-sama hidup dengan layak,” ujar Damar.