Pelaku industri asuransi jiwa meminta aturan yang mewajibkan industri jasa keuangan menempatkan investasi surat berharga negara dalam batasan tertentu dikaji ulang. Kewajiban tersebut dinilai membebani kinerja industri terkait.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri asuransi jiwa meminta aturan yang mewajibkan industri jasa keuangan menempatkan investasi surat berharga negara dalam batasan tertentu dikaji ulang. Kewajiban tersebut dinilai membebani kinerja industri terkait.
Kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank.
Regulasi itu mewajibkan lembaga jasa keuangan nonbank, termasuk industri asuransi, melakukan investasi minimum 20 persen pada akhir 2016 dan 30 persen pada akhir 2017 dalam instrumen surat berharga negara (SBN).
Peraturan ini kemudian direlaksasi melalui POJK No 36/2016. Dalam aturan perubahan dinyatakan 50 persen dari kewajiban alokasi investasi itu dapat dipenuhi dengan penempatan dana pada obligasi atau sukuk badan usaha milik negara (BUMN) yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur.
Hingga tahun lalu, regulasi itu kembali disesuaikan dengan POJK No 56/2017 yang memberikan alternatif instrumen bagi pemenuhannya, yakni meliputi efek beragun aset, reksa dana penyertaan terbatas yang penggunaan dananya untuk pembiayaan infrastruktur yang dilakukan BUMN atau anak perusahaan milik BUMN.
Saat laporan kinerja industri asuransi, Kamis (20/6/2019), Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menyatakan, regulasi investasi ini perlu dikaji kembali lantaran dapat membebani industri dan juga sektor jasa keuangan.
Implementasi regulasi tersebut, lanjutnya, cenderung membatasi ruang gerak pelaku asuransi jiwa untuk mengembangkan investasi dan meraup imbal hasil yang optimal.
”Itu sudah saatnya dikaji. Regulasi memang positif mendorong kontribusi pelaku industri mendanai program pemerintah, tetapi untuk porsi sebesar itu rasanya sudah tidak relevan untuk situasi saat ini,” ujarnya.
Implementasi regulasi tersebut cenderung membatasi ruang gerak pelaku asuransi jiwa untuk mengembangkan investasi dan meraup imbal hasil yang optimal.
Di sisi lain, ujar Togar, kebijakan itu berdampak pada sektor perbankan. Pasalnya, pelaku asuransi cenderung menggeser portofolio, khususnya dari deposito, untuk memenuhi ketentuan tersebut.
”Akhirnya dana pihak ketiga berkurang. Ketentuan ini baik, tetapi akan lebih baik lagi kalau seandainya perusahaan diberi keleluasaan untuk mencari imbal hasil yang lebih baik,” kata Togar.
Strategi investasi
Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon menilai, pelaku usaha asuransi jiwa memilih strategi lebih moderat dalam meracik portofolio investasi pada sisa tahun ini. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap instrumen saham di pasar modal.
Industri asuransi jiwa tetap melirik potensi produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau unit link dengan meningkatkan porsinya pada triwulan I-2019. Produk unit link dinilai memiliki andil besar pada menurunnya hasil investasi industri tahun lalu.
”Produk unit link ini pula yang turut memberikan andil terhadap pencapaian positif asuransi jiwa pada triwulan I-2019,” ujarnya.
Data AAJI menunjukkan, industri asuransi jiwa membukukan hasil investasi senilai Rp 13,41 triliun pada triwulan I-2019. Capaian ini melonjak dibandingkan dengan hasil investasi triwulan I-2018 yang minus Rp 2,86 triliun, bahkan lebih besar dibandingkan dengan hasil investasi sepanjang 2018 senilai Rp 7,8 triliun.