KEBANYAKAN perantau ke Jakarta dengan segenggam asa untuk meningkatkan perekonomian dan taraf hidupnya. Namun, ada juga perantau yang melihat Jakarta sebagai batu lompatan untuk mencari ilmu dan pengalaman diri. Tujuan utamanya adalah menggunakan ilmu dan pengalaman itu untuk membangun kampung halaman.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
KEBANYAKAN perantau ke Jakarta dengan segenggam asa untuk meningkatkan perekonomian dan taraf hidupnya. Namun, ada juga perantau yang melihat Jakarta sebagai batu lompatan untuk mencari ilmu dan pengalaman diri. Tujuan utamanya adalah menggunakan ilmu dan pengalaman itu untuk membangun kampung halaman.
Hidup Rafael Miku Beding bolak-balik Jakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pria 27 tahun ini memang kelahiran Jakarta, tetapi dia merasa NTT adalah kampung halamannya.
Setelah empat tahun terakhir menetap di NTT, akhir Mei lalu, Rafael kembali datang ke Jakarta. Bukan untuk menetap di Ibu Kota tempat dirinya menghabiskan masa kecilnya, Rafael ke Jakarta untuk mengambil studi pascasarjana.
”Saya ingin sekolah lagi. Mencari ilmu dan pengalaman tambahan. Setelah itu saya ingin kembali ke NTT, lalu membagikan ilmu dan pengalaman saya di sana,” ujar Rafael, Rabu (12/6/2019).
Semasa kecil, dia hidup dan mengenyam pendidikan dasar di Tangerang. Namun, saat remaja dia pindah sekolah ke Kabupaten Ngada, NTT. Saat itulah Rafael merasa seperti di rumah.
Dia berinteraksi dengan warga dan kebudayaan lokal. Segera Rafael merasa jatuh cinta dengan tanah leluhurnya itu. Di sisi lain, dia sedih melihat ketertinggalan kampungnya.
Karena pernah hidup di Jakarta yang maju, hati kecil Rafael remaja sering terenyuh melihat warga sekitar yang tertinggal jauh dari Jakarta. ”Saya pun berjanji dalam hati, saya ingin bawa maju kampung ini,” ujarnya.
Setamat sekolah menengah, Rafael melanjutkan studi di sebuah universitas swasta di Serpong, Tangerang Selatan. Seusai merampungkan studinya di bidang jurnalistik, Rafael pun menjejakkan langkah pertamanya di Watchdoc, rumah produksi audiovisual karya jurnalistik.
Menghabiskan sekitar 2,5 tahun bekerja di sana, hati kecil Rafael kembali memanggilnya kembali ke tanah leluhurnya. Rafael lalu aktif terlibat di berbagai komunitas anak muda di sana. Dia juga terlibat dalam produksi film ”SIKO” yang diproduksi bersama Komunitas Film Kupang. Dia juga merupakan manajer band lokal bernama Hip Today.
”Daerah ini punya banyak potensi. Hanya saja belum banyak tangan yang mengolah potensi ini secara maksimal,” ujar Rafael.
Warga sekampung
Meski sudah berdomisili di Jakarta, kepedulian dengan kampung halaman juga ditunjukkan Ragil Pamungkas (29). Pemilik tujuh warung makan grup Raja Bebek di Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan ini selalu mengutamakan warga sekampungnya untuk menjadi karyawannya.
Ia mengatakan, banyak teman sekampungnya dari Tegal bekerja padanya. Mereka dipekerjakan menjadi pelayan, petugas keamanan, dan juru masak. Kini total terdapat 21 orang dari kampungnya yang bekerja di rumah makannya.
”Mereka rata-rata belum tahu ingin apa ke Jakarta. Kebetulan kami satu daerah. Mereka saya tampung, saya latih, saya gaji juga. Syukur-syukur kelak mereka bisa mandiri,” ujar Ragil.
Di Tegal, Ragil juga memiliki peternakan bebek. Adapun yang bekerja di sana adalah warga sekampungnya. ”Pasti ada rasa ingin berkontribusi ke kampung halaman,” ujar Ragil.
Tak hanya itu, Ragil juga memiliki peternakan bebek dan ayam di Tegal, Pemalang, Brebes, dan Bogor. Total kapasitas produksi peternakannya per pekan mencapai 3.000 bebek dan ayam. Produksi bebek dan ayam itu tak hanya disalurkan ke rumah makan miliknya, tetapi juga ke rumah makan dan pihak lainnya. Semua itu dicapainya dalam tempo empat tahun sejak memutuskan merantau di Jakarta.
Sebelumnya, ia memulai bisnisnya sebagai peternak bebek di kampungnya Tegal, Jawa Tengah, sejak 2009. Selama itu, Ragil pernah mengalami masa manis dan pahit sebagai peternak bebek. Ia pernah ditipu pemasok bebek ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya, dengan hanya dibayar setengah, bahkan tidak dibayar sama sekali.
Idiom Ibu Kota lebih kejam dari ibu tiri, itu tidak selamanya tepat. Ibu kota bisa berperan juga sebagai ibu tiri yang membimbing warganya untuk jadi lebih baik.