Jakarta semakin membesar. Dia tak hanya menopang bebannya sendiri, tetapi juga kota-kota tetangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk menata Ibu Kota ini agar tak limbung dan jatuh.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Jakarta semakin membesar. Dia tak hanya menopang bebannya sendiri, tetapi juga kota-kota tetangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk menata Ibu Kota ini agar tak limbung dan jatuh.
Belum genap tiga bulan lalu, Jakarta telah sah memiliki alat transportasi modern yang juga dimiliki kota-kota maju lain, moda raya terpadu atau MRT. Kehadiran moda transportasi itu tak hanya memudahkan mobilitas warga yang tinggal di Jakarta, tetapi juga mereka yang tinggal di kawasan Tangerang Selatan, khususnya Ciputat. Begitu pun dengan warga di kawasan Cinere dan Sawangan, Kota Depok, turut merasakan manfaatnya.
Di bagian timur dan utara, warga Ibu Kota tidak lama lagi akan merasakan manfaat lintas raya terpadu (LRT). Pada fase awal, moda ini akan beroperasi dari Velodrome Rawamangun (Jakarta Timur) hingga Kelapa Gading (Jakarta Utara). Penyediaan LRT ini sejalan dengan moda serupa yang dibangun pemerintah pusat di area yang sama.
Bagi Direktur Utama PT LRT Jakarta Allan Tandiono, pembangunan LRT Jakarta adalah pertaruhan memperlihatkan keberhasilan Jakarta di mata dunia. Dia pun berusaha bersama jajarannya untuk menyelesaikan proyek tersebut dengan permintaan waktu yang sangat singkat, 1,5 tahun.
”LRT biasanya dibangun 5 tahun, tetapi kami diminta 1,5 tahun. Yang kita lihat dari segi membangun sesuatu yang kelas dunia lho. Itu, kan, semua membutuhkan waktu, tetapi nyatanya kami bisa meski terus berkejaran dengan waktu,” ujar Allan di Stasiun Velodrome, Jumat (21/6/2019).
Segala pencapaian itu dilakukan untuk mempermudah mobilitas warga, tak hanya Jakarta, tetapi juga kota-kota tetangga Jakarta. Itu sungguh patut diapresiasi dan dibanggakan.
”Kalau kita lihat Malaysia, itu ada apa sih? LRT dan MRT. Kalau ngomong Singapura juga ada apa? LRT dan MRT. Sekarang Jakarta ada apa? LRT dan MRT. Berarti apa? Kita enggak kalah, dong,” ucap Allan bangga.
Kehadiran moda transportasi modern tentu semakin menambah kemolekan kota Jakarta. Namun, itu saja tak cukup. Pergerakan warga metropolitan juga harus semakin cepat.
Menurut pengamat tata kota dari Universitas Indonesia, Hendricus Andy Simarmata, itulah yang seharusnya terjadi di ibu kota negara. Warga berangkat kerja dari rumah ke kantor kalau bisa tak lebih dari satu jam.
”Jadi, stigma tua di jalan itu sudah tak zamannya lagi. Masa di usia (Jakarta yang) setua ini, warganya juga ikut tua di jalan,” kata Andy.
Diet
Berbicara masalah ketuaan, Andy menyinggung bahwa Jakarta memang sudah seharusnya ”diet”. Jakarta disebutnya sudah terlalu obesitas dengan jumlah penduduk yang mencapai 10,2 juta orang. Semakin parah karena ruang Ibu Kota juga semakin sempit. Kawasan perkumuhan pun tak terhindarkan.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya (27/5/2019), hampir separuh wilayah DKI Jakarta berupa permukiman kumuh. Permukiman kumuh di DKI Jakarta tersebar di 118 dari 267 kelurahan atau hampir 45 persen dari total semua kelurahan.
Luas permukiman kumuh itu mencapai 1.005,24 hektar dengan sebaran wilayah di Jakarta Utara (30 persen), Jakarta Barat (28 persen), Jakarta Selatan (18 persen), Jakarta Timur (12 persen), Jakarta Pusat (11 persen), dan Kepulauan Seribu (1 persen). Mereka berada di tanah tak bertuan, seperti bantaran sungai, sepadan pantai, dan sekitar waduk.
Inilah wajah Jakarta juga, yang seakan terus menjadi warisan meski pemerintahan silih berganti. Belum selesai soal permukiman kumuh, pemerintah Jakarta juga akan digugat oleh warganya sendiri karena tak berhasil menyelesaikan masalah polusi udara.
”Jakarta harus diet di usia yang tua ini. Maksudnya apa? Kan, sudah membesar, ya perlu ada pengurangan-pengurangan beban supaya kota ini tidak sakit,” tutur Andy.
Pengurangan beban yang dimaksud, seperti memperbaiki lingkungan dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru. ”Selain itu, penataan permukiman kumuh juga menjadi hal yang mendesak, tentu dengan tetap memperhatikan aspek historis-sosial-budaya setempat. Perlu ada penataan kependudukan,” tegasnya.
”Sekarang itu yang urgen harus kampanye melakukan program diet sehingga memang ada hal-hal yang tak disukai yang harus dilakukan,” kata Andy.
Menata Jakarta tak cukup dengan membangun segala infrastruktur fisik. Menata Jakarta juga harus diikuti dengan menata perilaku warganya. Apalagi, Jakarta kini tak hanya berisi orang asli Jakarta, tetapi beragam daerah. Pilihan menata warga Jakarta bukanlah dengan memanjakan, justru dengan memberikan ketegasan aturan.