Kisah tentang Narasoma, yang kemudian menjadi Prabu Salya, raja Kerajaan Mandaraka, sungguh diliputi cinta dan keharuan. Ia beruntung mendapatkan puteri Resi Bagaspati dari pertapaan Argabelah yang cantik jelita, yakni Dewi Pujawati, yang kemudian menjadi Dewi Setyawati.
Oleh
Ninok Leksono
·2 menit baca
Kisah tentang Narasoma, yang kemudian menjadi Prabu Salya, raja Kerajaan Mandaraka, sungguh diliputi cinta dan keharuan. Ia beruntung mendapatkan puteri Resi Bagaspati dari pertapaan Argabelah yang cantik jelita, yakni Dewi Pujawati, yang kemudian menjadi Dewi Setyawati.
Ia juga mendapatkan ajian Candrabirawa yang luar biasa dahsyat. Namun, ia juga menyusuri berbagai perjalanan hidup yang dramatik. Oleh sebab kejiwaannya yang kerdil, dalam hal ini tidak nyaman dengan wujud mertua yang berupa raksasa, sang mertua rela mengorbankan diri agar ia bahagia. Alih-alih kecewa, Sang Resi merelakan jiwanya dan bahkan mewariskan kesaktiannya yang luar biasa kepada Sang Menantu. Ia hanya punya permintaan tunggal, yaitu agar Narasoma menjaga putrinya, dan tidak menyia-nyiakan. Sang Resi adalah Sang Penjaga Hati bagi putri yang amat dikasihinya.
Narasoma yang mengakui keluhuran sang mertua pun berikutnya mewujudkan komitmen untuk menjaga hati putri Sang Resi sepanjang hayatnya. Satu hal yang sangat menyentuh saat ia harus maju sebagai Senapati Hastina adalah berpisah dengan istrinya, sementara untuk nyawanya ia ikhlaskan, yaitu dengan memberi tahu siapa yang harus menandinginya dalam Perang Baratayudha melalui dua keponakannya, yakni Nakula dan Sadewa.
Lakon indah mengandung kesedihan dan pengorbanan ini, Senin (17/6/2019) malam, dipentaskan oleh Komunitas Swargaloka saat memperingati hari jadinya yang ke-26 di Gedung Kesenian Jakarta. Sang Pendiri Paguyuban—Suryandoro dan Dewi Sulastri—yang sebelumnya aktif di panggung, kini sudah banyak menyerahkan aktivitas artistik kepada putera mereka, Bathara Saverigadi Dewandoro atau Ara.
Koreografer muda inilah yang menggarap tarian ”Sang Penjaga Hati”. Koreografinya dinamis, didukung oleh musik yang digubah oleh Gregoriyanto Kris Mahendra, komposer muda putra tokoh orkestra gamelan ternama Dedek Wahyudi.
Fakta bahwa pergelaran masih menghadirkan sosok-sosok senior, seperti Agus Prasetyo (yang memerankan Prabu Salya), Ali Marsudi (Puntadewa), Dewi Sulastri (Setyawati), serta Achmad Dipoyono (Resi Bagaspati), dan sebagian besar lainnya sudah beralih ke penari muda, seperti Aurella Cinta Aristadevi, menyiratkan bahwa memang sedang berlangsung transisi dari senior ke yunior.
Penonton pun mau tak mau harus mengikuti derap dan irama pertunjukan yang lebih bernuansa milenial daripada pewayangan klasik. Seperti sudah cukup banyak diulas, pencinta wayang klasik belum sepenuhnya bisa menerima gaya modern yang diambil Swargaloka. Namun, ketika dihadapkan pada pilihan untuk maju, bahkan Irwan Riyadi selaku penulis naskah dan sutradara sekali pun harus berkompromi dengan para seniman muda. Waktulah yang kelak akan memberikan penilaian tentang jalur mana yang lebih diterima publik sekarang dan pada masa datang.