Penerimaan Pajak Tumbuh Sangat Rendah, Defisit APBN Jadi Melebar
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mewaspadai dampak pertumbuhan penerimaan perpajakan yang terus melemah sejak awal tahun. Hal itu dapat menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN melebar kendati masih dalam target 1,84 persen produk domestik bruto.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan, realisasi penerimaan perpajakan per Mei 2019 sebesar Rp 569,3 triliun atau 31,9 persen dari pagu APBN 2019. Penerimaan perpajakan pada Mei 2019 tumbuh 5,7 persen dibandingkan Mei 2018. Padahal, pada Mei 2018, penerimaan perpajakan tumbuh 14,5 persen dibandingkan Mei 2017.
Sementara itu, defisit APBN per Mei 2019 sebesar Rp 127,5 triliun atau 0,79 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Realisasi defisit Mei 2019 itu lebih tinggi dari Mei 2018, yang Rp 93,5 triliun atau 0,63 persen PDB.
”Perlemahan pertumbuhan penerimaan perpajakan terjadi hampir di semua sektor industri. Kondisi ini mengonfirmasi kehati-hatian kami,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers kinerja APBN bulan Mei 2019 di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Perlemahan penerimaan itu tecermin pada realisasi pendapatan pajak Rp 496,6 triliun, bea masuk Rp 15 triliun, bea keluar Rp 1,5 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 158,4 triliun. Realisasi pendapatan pajak tercatat mengalami pertumbuhan paling rendah, yaitu 2,4 persen, pada Mei 2019. Padahal, Mei tahun lalu, realisasi pendapatan pajak tumbuh 14,2 persen.
Menurut Sri Mulyani, penerimaan pajak terlemah berasal dari industri pengolahan. Realisasi penerimaan pajak itu pada Mei 2019 sebesar Rp 132,35 triliun atau turun 2,7 persen dibandingkan Mei 2018.
Penurunan produktivitas industri pengolahan itu terkonfirmasi dalam penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) impor yang hanya tumbuh 0,6 persen pada Mei 2019.
”PPh impor pada periode tersebut drop dibandingkan periode sama tahun lalu yang tumbuh 30,5 persen. Kondisi ini harus diwaspadai karena sebagian impor adalah bahan baku dan barang modal,” kata Sri Mulyani.
Selain industri pengolahan, penurunan penerimaan pajak juga bersumber dari sektor pertambangan sebesar 12,4 persen. Realisasi penerimaan pajak sektor pertambangan per Mei 2019 sebesar Rp 28,9 triliun. Penurunan penerimaan juga dipengaruhi kebijakan percepatan restitusi.
Menurut Sri Mulyani, kondisi perekonomian per Mei 2019 agak berbeda. Kendati penerimaan pajak dari industri melemah, pajak orang pribadi tumbuh di atas 20 persen. Kondisi itu berarti lapangan kerja tersedia dan daya beli masyarakat tercipta. Penyaluran tunjangan hari raya (THR) juga tetap direalisasikan.
Perlemahan penerimaan perpajakan juga tak terlepas dari prospek pertumbuhan ekonomi yang juga melemah. Dinamika ekonomi global yang bersumber dari perang dagang AS-China turut memengaruhi pertumbuhan perdagangan. Terlebih, mayoritas industri pengolahan Indonesia masih bergantung pada komoditas mentah.
Defisit APBN
Sri Mulyani mengatakan, defisit APBN 2019 berpotensi melebar dari 2018 karena pertumbuhan penerimaan melemah sementara realisasi belanja tetap. Defisit APBN per Mei 2019 sebesar Rp 127,5 triliun atau 0,79 persen terhadap PDB.
Realisasi defisit Mei 2019 lebih tinggi dari Mei 2018, yang sebesar Rp 93,5 triliun atau 0,63 persen PDB. ”Sampai saat ini, kami menganggap defisit masih sangat mungkin kita upayakan sesuai target APBN 2019, yakni 1,84 persen PDB,” kata Sri Mulyani.
Defisit APBN 2019 berpotensi melebar dari 2018 karena pertumbuhan penerimaan melemah sementara realisasi belanja tetap. Defisit APBN per Mei 2019 sebesar Rp 127,5 triliun atau 0,79 persen terhadap PDB.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menambahkan, sejauh ini pemerintah belum memutuskan untuk mengajukan APBN perubahan kendati beberapa indikator asumsi makro tidak sesuai target. Pelaksanaan APBN setidaknya hingga semester I-2019 masih sesuai proyeksi.
Asumsi ekonomi makro dalam APBN yang meleset dari acuan, yakni kurs rupiah, tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan, harga minyak dunia, lifting minyak dan gas.
”Pemantauan APBN dilakukan konsisten dan kami akan menentukan arah kebijakan apakah akan ada perubahan atau tidak,” kata Askolani.
Ditemui secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, pemerintah mesti menjaga defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB secara konsisten. Disiplin fiskal akan berdampak luas bagi perekonomian salah satunya efisiensi belanja APBN.
Dengan menjaga defisit APBN, peringkat utang Indonesia akan cepat naik sehingga imbal hasil surat berharga pemerintah semakin rendah. Belanja bunga utang yang sekitar Rp 200 triliun setiap tahun akan berkurang.
Alokasi belanja bunga utang bisa dialihkan untuk belanja yang lebih produktif. ”Citra mengelola fiskal yang sangat hati-hati perlu dipertahankan agar peringkat utang terus naik sehingga bunga utang bisa jauh lebih murah,” kata Febrio.