Menengok Peleburan Tembaga Era Revolusi Industri 4.0
Setelah memakai pakaian sesuai standar keselamatan kerja, Kamis (20/6/2019) pagi, sejumlah rombongan media dari Jakarta berkesempatan melihat langsung pabrik peleburan dan pemurnian (smelter) tembaga PT Smelting di Gresik, Jawa Timur.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Setelah memakai pakaian sesuai standar keselamatan kerja, Kamis (20/6/2019) pagi, sejumlah rombongan media dari Jakarta berkesempatan melihat langsung pabrik peleburan dan pemurnian (smelter) tembaga PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. Setelah meninggalkan gedung kantor yang sejuk dan berdesain minimalis khas perkantoran Jepang, rombongan menaiki mobil untuk melihat lokasi pabrik.
Dalam perjalanan awal, rombongan sempat melewati beberapa bangunan pabrik pengolahan dan gudang penyimpanan yang berdiri di lahan seluas 28,5 hektar. Gambaran mesin uap dan cerobong asap seperti pabrik-pabrik besar di abad ke-19 terlihat jelas. Namun, tak terlihat adanya asap yang mengepul ke udara atau ramainya aktivitas manusia.
”Selamat datang di industri 4.0,” ujar Senior Manager Technical Eksternal PT Smelting Bouman T Situmorang yang mendampingi awak media.
Rombongan terlebih dulu menuju lokasi penyimpanan terak tembaga (copper slag) di dekat laut yang membatasi kompleks pabrik. Terak tembaga merupakan limbah proses peleburan konsentrat tembaga yang dibeli dari perusahaan tambang. Limbah tersebut berbentuk pasir hitam yang tajam dan mengilat karena mengandung besi dan silika.
Setiap tahun, PT Smelting dapat menghasilkan 655.000 ton terak tembaga. Limbah itu dijadikan produk sampingan yang kemudian dijual ke industri semen di dalam negeri yang telah berkontrak dengan perusahaan tersebut, antara lain Semen Tonasa dan Semen Padang.
Berton-ton terak tembaga dikirim menggunakan kapal tongkang. Proses perpindahan itu didukung dengan fasilitas penunjang, seperti sabuk berjalan (conveyor belt) sepanjang dua kilometer dari laut ke dalam pabrik peleburan. Sabuk berjalan itu juga dapat digunakan untuk mengantarkan 1,2 juta ton konsentrat tembaga sepanjang tahun ke dalam pabrik.
Sayangnya, saat itu, proses panjang peleburan tembaga tidak dilakukan karena adanya periode perawatan alat selama beberapa jam. Namun, kami sempat diperlihatkan pelat anoda tembaga sebagai hasil tengah dari peleburan konsentrat tembaga.
Pelat yang mengandung 99,4 persen tembaga tersebut dicetak dengan luas kurang dari 2 meter dan tebal sekitar 5 sentimeter. Pelat tersebut selanjutnya dibawa ke pabrik pemurnian untuk dijadikan katoda tembaga dengan tingkat kemurnian 99,9 persen.
Proses pemurnian dilakukan dengan merendam pelat anoda tembaga bersama pelat baja tahan karat secara elektrolisa sampai 19 hari. Setelah masa perendaman selesai, terbentuklah pelat katoda dengan berat hingga 102 kilogram.
Seluruh proses di pabrik pemurnian hingga pengepakan katoda tembaga, yang merupakan produk utama PT Smelting, dikerjakan secara otomatis dengan teknologi dan sedikit sentuhan tangan manusia. Inilah gambaran revolusi industri gelombang keempat atau 4.0. Era di mana semakin banyak tenaga manusia yang telah tergantikan dengan mesin.
Limbah bermanfaat
PT Smelting mengolah berbagai sisa proses peleburan dan pemurnian tembaga dengan teknologi khusus agar menjadi produk sampingan yang bernilai jual. Selain terak tembaga, ada tiga produk sampingan lain, seperti asam sulfat, lumpur anoda, dan gipsum.
Asam sulfat didapat dari pengolahan emisi SO2 dalam gas buang hasil peleburan tembaga. Gas yang diketahui bisa memicu hujan asam dan bersifat korosif tersebut tidak dibuang begitu saja ke udara, tetapi diproses menjadi cairan. Asam sulfat itu kemudian dikirim melalui saluran pipa ke pabrik pupuk yang bertetangga dengan PT Smelting.
Proses peleburan yang menyisakan air limbah juga diolah melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Proses itu lantas menghasilkan gipsum yang dijual untuk bahan baku industri semen. PT Smelting kini dapat menjual setidaknya 35.000 ton gipsum sepanjang tahun.
Sementara, lumpur anoda dihasilkan dari proses elektrolisis anoda tembaga menjadi katoda tembaga di pabrik pemurnian. Setiap tahun, PT Smelting mengekspor lebih kurang 1.800 ton lumpur anoda. Ekspor dilakukan karena pabrik pengolahan logam mulia, yang mampu menghasilkan emas dan perak batangan dari pemurnian lumpur anoda, belum tersedia di Tanah Air.
Tanggung jawab
President Director PT Smelting Hiroshi Kondo, yang ditemui pada kunjungan lapangan itu, mengatakan, sejak berdiri tahun 1996, perusahaannya berkomitmen untuk memastikan kegiatan bisnis dalam siklus operasi tidak akan membahayakan lingkungan.
”Sebagai perusahaan peleburan dan pemurnian sumber daya mineral yang tidak terbarukan, kami terdorong untuk melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan lebih dari apa yang diminta Pemerintah Indonesia secara berkelanjutan,” katanya.
Bouman menambahkan, tanpa komitmen dan pemanfaatan teknologi kendali untuk meminimalkan dampak lingkungan, pabrik smelter hanya akan merugikan lingkungan dan tidak mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
”Kami membuktikan bahwa hampir semua limbah kami dapat menjadi produk sampingan. Ini adalah pabrik abad ke-21,” ujar Bouman.