Kelompok Parewa Limo Suku tampil memesona dalam Festival Nan Jombang Tanggal 3, Jumat (14/6/2019) malam. Kolaborasi drama, tari, dan musik yang berakar dari kesenian tradisi itu tampak menyatu dan pas. Seni kreasi itu menyuguhkan kesegaran.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
Kelompok Parewa Limo Suku tampil memesona dalam Festival Nan Jombang Tanggal 3, Jumat (14/6/2019) malam. Kolaborasi drama, tari, dan musik yang berakar dari kesenian tradisi itu tampak menyatu dan pas. Seni kreasi itu menyuguhkan kesegaran.
Dalam pertunjukan berdurasi 36 menit itu, ketiga unsur kesenian ditampilkan silih berganti dengan padu, bukan sekadar tempelan. Cerita yang memikat, tarian yang halus tetapi bertenaga, dan musik yang energik dikemas dengan takaran pas. Tidak ada yang mendominasi satu sama lain.
Puti Bungsu menjadi lakon yang dibawakan siswa SMK 7 Padang di Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru, Padang, Sumatera Barat. Cerita merupakan adaptasi dari Malin Deman dan Puti Bungsu, cerita rakyat dari Pesisir Selatan.
Tujuh bidadari bersaudara dikisahkan turun ke bumi untuk mandi di telaga. Ketika para bidadari asyik mandi, pemuda bernama Malin Deman mencuri satu selendang mereka, yang ternyata milik Puti Bungsu, bidadari bungsu. Di daerah lain, si pemuda itu bernama Jaka Tarub, sedangkan si bidadari dikenal sebagai Nawang Wulan.
Puti Bungsu yang kehilangan selendang tidak bisa kembali ke kayangan. Di tengah kegundahan Puti Bungsu yang ditinggal sendirian, muncul Malin Deman yang jatuh hati memberikan tawaran untuk tinggal di rumah bersama dirinya dan ibunya. Puti Bungsu pun menerima tawaran itu.
Akan tetapi, hal itu sempat menimbulkan pergunjingan di masyarakat. Selain asal-usul Puti Bungsu tidak jelas, masyarakat menganggap tidak pantas perempuan tinggal di rumah laki-laki tanpa hubungan keluarga. Puti Bungsu pun lari dari rumah, disusul Malin Deman, sebelum keduanya akhirnya menikah.
Pertunjukan dibawakan 14 pemain, antara lain pelakon, penari, dan pemusik/penyanyi. Namun, tiap-tiap pemain tidak berperan tunggal. Pemain musik bisa berganti peran jadi penari dan pelakon, begitu pula sebaliknya.
Sekilas, pertunjukan ini mirip dengan randai, teater rakyat di Ranah Minangkabau, yang juga memiliki unsur drama, tari, dan musik. Pertunjukan diwarnai unsur-unsur randai, seperti penggunaan celana galembong dan sejumlah gerakan randai. Namun, Parewa Limo Suku berupaya membebaskan imajinasi dalam pertunjukannya, melepaskan diri dari pakem-pakem di dalam randai.
”Kami berusaha menyajikan pertunjukan zaman sekarang, tetapi berpijak dari seni tradisi,” kata Ismun Krisman, Pemimpin Parewa Limo Suku.
Menurut pria yang karib disapa Mon Parewa itu, seni kontemporer tidak harus meniru kesenian luar. Kesenian tradisi bisa menjadi pijakan dalam menghadirkan karya baru yang lebih sesuai dengan konteks zaman. Namun, seniman tetap harus berhati-hati agar karya yang diciptakan tidak merusak kesenian tradisi itu sendiri.
Mon Parewa membebaskan penonton untuk menamai jenis pertunjukannya. Meskipun demikian, ia enggan menyebut itu sebagai randai karena banyak bagian yang sudah diubah dan ditambahkan.
”Cerita di dalam randai, misalnya, disampaikan dalam legaran (lingkaran pemain), sedangkan yang ini sudah diubah, tidak dalam legaran,” ujarnya.
Ia menambahkan, Puti Bungsu sebelumnya pernah ditampilkan dalam Festival Rohana Kudus yang digelar Dinas Pariwisata Sumatera Barat, November 2018. Selain Puti Bungsu, karya sejenis yang pernah digarap Parewa Limo Suku adalah Sasaran Mak Katik. Karya itu ditampilkan dalam Festival Media Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional 2018 di Kota Tangerang, Banten, 2-3 Desember 2018.
Pendiri dan Pemimpin Nan Jombang Group, Ery Mefri, menuturkan, Festival Nan Jombang Tanggal 3 sudah memasuki tahun ketujuh. Setiap bulan, Nan Jombang Group menghadirkan kelompok kesenian tradisi ataupun yang berakar dari tradisi. Itu merupakan bentuk terima kasih Ery terhadap kesenian tradisi yang sudah membesarkan namanya.
”Festival ini juga sebagai bentuk upaya menjaga kesenian tradisi agar tidak punah. Kesenian tradisi perlu diberi uang untuk tampil,” kata koreografer yang acap keliling dunia itu.
Ery menambahkan, festival ini biasanya digelar tanggal 3 setiap bulan. Namun, kali ini acara digelar tanggal 14 Juni karena tanggal 3 berdekatan dengan Idul Fitri 1440 Hijriah.