Rupiah Lari, Dollar Pun Melayang
Pasar pariwisata domestik wisatawan Nusantara kian memprihatinkan. Upaya birokrasi pusat, daerah, pelaku bisnis wisata, penggiat wisata, dan penikmat jalan-jalan mendorong sektor ini nyaris tak berdaya. Salah satunya karena tiket pesawat mahal.
Pasar pariwisata domestik wisatawan Nusantara kian memprihatinkan. Upaya birokrasi pusat, daerah, pelaku bisnis wisata, penggiat wisata, bahkan kelompok penikmat jalan-jalan milenial yang telah bersusah payah mendorong sektor pariwisata domestik melalui media sosial nyaris tak berdaya.
Seluruh inovasi, kreativitas, dan jibaku yang dilakukan melalui berbagai strategi promosi untuk meraup rupiah dari wisatawan Nusantara menguap tanpa hasil signifikan. Destinasi wisata domestik, seperti laut, pantai, gunung, goa, hutan, kebun, dan desa, di beberapa tempat nyaris mati suri. Kondisi itu terjadi bukan karena wilayah destinasi di berbagai wilayah mutu manikam Indonesia itu tidak menarik, melainkan terjegal mahalnya biaya transportasi menuju wilayah itu.
Biang keroknya tidak lain dan tidak bukan adalah mahalnya harga tiket pesawat. Bahkan, harga tiket atau koneksi antarwilayah yang masih lingkup dalam negeri masih lebih mahal dari biaya tiket pesawat ke luar negeri.
Pebisnis pariwisata di Medan, Padang, Maluku, Surabaya, dan Batu, semuanya mengatakan kehilangan akal dan strategi untuk menarik wisatawan domestik dari satu wilayah ke wilayah mereka.
Mahalnya tarif itu bukan hanya dalam hitungan 10 persen, 20 persen, atau 50 persen, tetapi nyaris 100 persen, bahkan bisa mencapai 200 persen. Semua itu bukan semata-mata kebijakan maskapai penerbangan yang mendongkrak harga tiket, melainkan kebijakan pemerintah sendiri yang memberi batasan atas dan bawah.
Sektor pariwisata yang dulu menjadi harapan sumber pendapatan asli daerah (PAD) dari hasil geliat ekonomi yang tak hanya mendongkrak tingkat hunian hotel, tetapi juga produk ikutan wiisata lainnya, kini secara pasti dan perlahan satu per satu rontok. Sektor pariwisata nyaris mati suri, tak mampu lagi dijangkau wisatawan domestik dengan mudah dan efisien.
Sektor pariwisata domestik menjadi tidak efisien dan tidak kompetitif jika dibandingkan dengan luar negeri, khususnya destinasi wisata di wilayah ASEAN. Selisih biaya yang harus dikeluarkan untuk tujuan wisata ke luar negeri tidak hanya separuh, tetapi bisa jauh lebih besar lagi. Bahkan, biaya per orang ke wilayah Indonesia sekali jalan bisa sama dengan biaya tiga orang ke luar negeri.
Wajar jika bisnis pariwisata dari wisatawan domestik terancam hancur. Bukan mati karena konsumen tak memiliki dana untuk berwisata, tetapi lebih karena mahalnya biaya yang dipatok maskapai.
Sektor pariwisata yang dulu menjadi primadona sebagai sumber pengumpul pundi-pundi rupiah menguap tanpa ada penyelesaian berarti dari pemerintah. Upaya untuk mengejar rupiah menjadi sia-sia, berbalik menjadi membuang dollar AS.
Dampak dari kebijakan soal tiket itu, banyak WNI memilih melancong ke negara tetangga. Dollar AS yang dihabiskan mereka mungkin hanya berkisar 100 dollar AS-200 dollar AS untuk belanja camilan, cokelat, atau buah tangan kecil. Namun, tetap saja itu menjadi berarti karena nilai devisa yang dibuang tidak hanya oleh satu atau lima orang, tetapi bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan orang.
Ironinya lagi, jika tidak segera diselesaikan, belitan persoalan ini akan menjadi masalah serius berkepanjangan. Sebab, banyak agen perjalanan ramai-ramai menawarkan wisata ke luar negeri yang jauh lebih murah daripada ke wilayah domestik.
Strategi itu mereka lakukan agar usaha bisnis mereka tidak mati kehilangan konsumen. Langkah itu juga terpaksa ditempuh, bukan semata-mata wilayah wisata di luar negeri lebih menarik, tetapi lebih karena murah dan terjangkau.
Cerita pedih
Simak saja cerita mereka yang terlibat dalam bisnis pariwisata di Medan, Padang, Maluku, Surabaya, dan Batu, misalnya. Semuanya mengatakan kehilangan akal dan strategi untuk menarik wisatawan domestik dari satu wilayah ke wilayah mereka.
Tidak ada cara lain untuk bertahan kecuali menawarkan wisata ke Kuala Lumpur, Bangkok, atau Singapura yang tiketnya jauh lebih murah. Ditambah lagi berwisata ke luar negeri bagi wisatawan Nusantara jauh lebih bergengsi.
Tengok saja cerita dari Medan, Sumatera Utara. Para pelaku bisnis wisata kehilangan pasar secara signifikan sejak kebijakan kenaikan harga tiket pesawat diberlakukan. ”Omzet agen perjalanan dan wisata menurun rata-rata 50 persen akibat kenaikan harga tiket penerbangan domestik. Untuk dapat bertahan, kami lebih memilih mempromosikan destinasi luar negeri yang lebih kompetitif untuk dijual,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia Sumatera Utara Solahuddin Nasution di Medan, Selasa (18/6/2019).
Menurut dia, wisatawan domestik dari Sumut pun kini banyak yang membatalkan rencana perjalanan ke destinasi di Jawa dan Bali. Sebaliknya, wisatawan dari Jawa juga semakin sedikit yang melakukan perjalanan ke Sumut.
Penurunan penjualan paket wisata dalam negeri, antara lain, terlihat di gerai PT Lovely Holidays Tour and Travel, Medan. Gerai penjualan paket wisata itu tampak sepi. ”Penjualan paket wisata menurun tajam sejak kenaikan harga tiket penerbangan domestik,” kata Dwi Mayasari, anggota staf PT Lovely Holidays.
Menurut Dwi, kini mereka sangat kesulitan menjual paket wisata domestik. Mereka hanya bisa memberangkatkan 4-5 grup wisata domestik per bulan. Padahal, sebelumnya mereka bisa memberangkatkan 15-20 grup per bulan dengan rata-rata empat orang per grup.
Ia mengatakan, destinasi wisata luar negeri lebih kompetitif untuk dijual. Ia mencontohkan paket perjalanan selama empat hari ke Kuala Lumpur, Malaysia, hanya Rp 2,5 juta per orang. Paket perjalanan ke Bangkok, Thailand, juga hanya sekitar Rp 3,8 juta per orang. ”Itu jauh lebih murah dibandingkan paket wisata ke Yogyakarta yang kini sudah tembus Rp 6 juta per orang. Para wisatawan lebih tertarik pelesiran ke luar negeri. Mereka pun kini bisa memberangkatkan 15-20 grup per bulan,” kata Dwi.
Negara tujuan wisata belakangan ini yang menjadi sasaran untuk berwisata adalah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Cerita memilukan juga bisa didengar dari para pelaku wisata di Padang, Sumatera Barat. Kenaikan harga tiket pesawat dalam negeri sejak awal tahun langsung memukul jumlah kunjungan wisatawan di Sumatera Barat. Akibatnya, sebagian besar biro fokus menggarap paket wisata ke luar negeri agar tidak merugi.
Menurut Ketua Asita Sumbar Ian Hanafiah di Padang, Selasa lalu, sebagian besar biro perjalanan wisata menempuh langkah itu karena paket wisata domestik lesu darah. Sementara itu, paket wisata ke luar negeri diminati karena biayanya lebih murah.
”Apa boleh buat, kami terpaksa menjual paket wisata ke luar negeri. Walaupun kami tahu itu merugikan negara karena devisa berkurang. Itu harus dilakukan daripada bangkrut. Sementara terpaksa kami lupakan idealisme,” kata Ian, yang juga pemilik Ero Tour and Travel.
Dari perhitungan Ian, biaya perjalanan dari Padang ke Maladewa via Malaysia jauh lebih murah dibandingkan dari Padang ke Bali. Ke Maladewa, biaya perjalanan hanya Rp 4 juta pergi-pulang, sedangkan ke Bali bisa mencapai Rp 7 juta.
Kompas mencoba perbandingan dengan mengutip salah satu aplikasi layanan perjalanan. Biaya perjalanan dari Sumbar ke Bali berkisar Rp 4,8 juta-Rp 6,6 juta per orang pergi-pulang pada periode pertengahan Juni-awal Juli 2019. Biaya itu belum termasuk ongkos bagasi.
Menurut Ian, permintaan paket domestik sebagian besar biro perjalanan wisata di Sumbar turun signifikan. Sebaliknya, permintaan paket ke luar negeri melonjak drastis. Asita Sumbar memang tidak mendata semua anggota yang mencapai 242 perusahaan. Namun, di Ero Tour and Travel, permintaan paket domestik turun 70 persen, sedangkan paket ke luar negeri meningkat hingga 300 persen.
Kondisi serupa dialami Ontiket Amanah Digita, biro perjalanan wisata lain di Sumbar. Direktur Ontiket Amanah Digita Joni Mardianto mengungkapkan, kenaikan harga tiket pesawat menurunkan permintaan paket domestik dan meningkatkan perjalanan ke luar negeri.
”Harus bagaimana lagi, memang harus menjual paket ke luar negeri agar biar bisa bertahan. Meskipun secara tidak langsung menguntungkan negara lain, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand,” kata Joni.
Menurut Joni, hampir tidak ada permintaan paket domestik dari wisatawan Nusantara ke Sumbar. Saat ini ada tiga grup klien Ontiket Amanah Digita dengan total 160 orang dari Pulau Jawa yang menunda hingga akhir 2019 perjalanan mereka ke Sumbar karena tiket masih mahal. Jika harga tiket masih mahal, ada kemungkinan pesanan itu batal.
Tak sedikit agen perjalanan wisata yang membelokkan usahanya. ”Sejak Januari saya banting setir ke bisnis lain. Berhenti total karena hampir tidak ada pesanan,” kata Rusdi Chaprian (39), pemilik Pelangi Holiday. Pelangi Holiday berdiri sejak 2013.
Menurut Rusdi, sebelumnya dalam sebulan Pelangi Holiday bisa mendatangkan 500 wisatawan domestik ke Sumbar. Sejak harga tiket melonjak, pesanan nyaris tidak ada. Bahkan, pesanan paket yang sudah disepakati terpaksa dibatalkan klien karena terbentur harga tiket. Klien yang sebagian besar merupakan rombongan pegawai perusahaan beralih ke daerah lain yang mudah ditempuh angkutan darat.
Pesanan laut muram
Pukulan tak hanya dirasakan para pengelola pada destinasi darat, pesona kepulauan dan laut tak juga mampu mengerek kenaikan jumlah wisatawan domestik. Pelaku wisata dan pemerintah daerah Maluku bahkan menyatakan, kunjungan wisatawan domestik ke Kepulauan Banda, salah satu ikon wisata di Maluku, kini turun hingga 100 persen. Solusinya, harga tiket pesawat harus segera diturunkan.
Minimnya kunjungan wisatawan menyebabkan tiga dari empat tempat penyedia jasa selam di Banda terpaksa ditutup.
”Hari ini, di Banda tidak ada wisatawan dari dalam negeri. Turun 100 persen. Wisatawan asing juga turun lebih dari 50 persen. Penyebab utamanya adalah harga tiket pesawat yang mahal dan minimnya transportasi dari Ambon ke Banda,” ujar Reza Tuasikal, pelaku pariwisata di Kepulauan Banda, Selasa.
Pernyataan Reza itu dibenarkan Kepala Dinas Pariwisata Maluku H Saimima. ”Kondisi di Banda memang seperti itu. Tempat wisata lain juga mirip. Sektor pariwisata di Maluku seakan mati. Siapa yang mau ke Maluku kalau harga tiket pesawat seperti ini. Semua pelaku wisata mengeluh,” ujar Saimima.
Dari aplikasi penjualan tiket dalam jaringan, harga tiket Jakarta-Ambon untuk hari Rabu paling murah Rp 2,79 juta. Sebelumnya, hingga Agustus 2018, harga tiket pada rute itu pernah hanya Rp 900.000. Dengan begitu, biaya transportasi pesawat pergi-pulang sekitar Rp 5,6 juta. Ini belum termasuk ongkos kapal Ambon-Banda pergi-pulang sebesar Rp 820.000.
Ia menyebutkan, jumlah wisatawan domestik dari wilayah Indonesia bagian barat ke Banda, yang sebelumnya dalam satu pekan di atas 50 orang, kini turun hingga nol orang. Data itu tercatat dalam satu bulan terakhir. Banyak yang pergi ke Thailand karena harganya separuh dari harga ke Banda.
Minimnya kunjungan wisatawan, lanjut Reza, menyebabkan tiga dari empat tempat penyedia jasa selam di Banda terpaksa ditutup. Selain wisata sejarah rempah-rempah, pesona yang ditawarkan alam Banda adalah keindahan bawah air. Sebagian besar wisatawan yang datang ke Banda beralasan ingin menyelami perairan Banda.
Saimima menambahkan, perhotelan, restoran, dan industri suvenir juga ikut terdampak kenaikan harga tiket pesawat. ”Di satu sisi, pemerintah pusat ingin pariwisata maju, tetapi di sisi lain, harga tiket tidak bisa dikendalikan. Percuma promosi wisata ke mana-mana. Ujung-ujungnya wisatawan akan tanya biaya ke sana berapa. Terlebih lagi wilayah Indonesia timur ini paling terdampak karena paling mahal harga tiketnya,” tuturnya.
Pengusaha sektor pariwisata di Batam, Kepulauan Riau, yang bertetangga dengan Singapura juga terpukul. Jumlah wisatawan domestik melorot hingga 60 persen. ”Setengah tahun ini kami perang tarif habis-habisan untuk menarik wisatawan domestik. Kalau situasinya begini terus, sebentar lagi banyak hotel dan restoran bangkrut,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kepulauan Riau Muhammad Mansyur.
Di sejumlah laman ataupun aplikasi penjualan tiket daring, tiket dari Medan ke Batam dijual mulai dari Rp 1,2 juta. Adapun tiket dari Medan ke Singapura bisa didapat hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp 729.000. Hal ini tentu membuat wisatawan lebih memilih berlibur ke negara tetangga.
”Kalau sedang ada promosi, dengan Rp 150.000 saja orang bisa terbang dari Jakarta ke Singapura. Kalau pemerintah enggak segera turun tangan mengatasi masalah harga tiket ini, rezeki pengusaha pariwisata habis dilibas Singapura dan Malaysia,” kata Mansyur.
Menurut dia, target 2,4 juta wisatawan mancanegara yang dicanangkan Pemerintah Kota Batam belum cukup untuk menutup kerugian akibat merosotnya jumlah wisatawan domestik secara drastis. Lagi pula, percuma saja meningkatkan target wisman, tetapi di saat bersamaan jumlah wisatawan domestik yang berlibur ke negara lain jauh lebih banyak daripada wisman yang masuk ke Indonesia.
”Pemerintah seharusnya memberi insentif harga tiket pesawat tujuan Batam. Kalau semuanya diserahkan ke mekanisme pasar dan bisnis penerbangan yang hanya didominasi Garuda dan Lion, ya, begini akibatnya,” ujar Mansyur.
Imbas itu juga dirasakan oleh pengelola taman wisata di Batu, Jawa Timur. Dampak kemerosotan jumlah kunjungan wisatawan ini juga mengurangi omzet belanja oleh-oleh khas Batu dalam jumlah besar.
Manajer Pemasaran dan Humas Jatim Park Group Titik S Ariyanto, Selasa, di Batu, mengatakan, angka kunjungan wisatawan selama libur panjang Lebaran 2019 hampir sama dengan masa libur Lebaran 2018, yakni sekitar 30.000 orang per hari untuk semua wahana.
Angka ini tidak sebesar jumlah yang diperkirakan Jatim Park Group. Sebelumnya, mereka memperkirakan terjadi lonjakan jumlah wisatawan di atas 30.000 orang per hari untuk semua wahana, yaitu Jatim Park I, Jatim Park II, Jatim Park III, dan beberapa lokasi wisata lain. Alasannya, atraksi wisata kini kian menarik dan Tol Pandaan-Malang sudah tersambung.
”Jelas berdampak, wisatawan akan berpikir dua kali karena harga tiket pesawat mahal. Meski kami menyiapkan atraksi wisata yang bagus, kalau orang tidak memiliki budget mencukupi, mereka akan memilih pergi ke tempat wisata lain yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Tempat wisata lain yang dimaksud oleh Titik adalah destinasi luar negeri yang harga tiketnya jauh lebih murah dibandingkan penerbangan domestik dalam negeri. Ia mencontohkan, harga tiket pesawat dari Surabaya ke Malaysia hanya Rp 800.000-Rp 900.000 per orang. Adapun harga tiket dari Malang ke Bali di atas Rp 2 juta per orang.
”Tanggal 21 Juni saja, dari Malang ke Bali harga tiketnya Rp 2,3 juta, sedangkan ke Malaysia pergi-pulang hanya Rp 1,6 juta per orang. Tak heran jika wisatawan kemudian memilih pergi ke luar negeri. Di sana, mereka dapat pengalaman, kesenangan, dan prestise,” ucapnya.
Memasarkan paket wisata ke luar negeri yang otomatis membelanjakan devisa juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Negara tujuan wisata belakangan ini yang menjadi sasaran untuk berwisata adalah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Paket wisata dalam negeri tidak ada yang melirik. Beberapa perusahaan, organisasi, atau komunitas yang sebelumnya rutin menggelar kegiatan di Bali, Malang, dan Yogyakarta cenderung meniadakan karena alasan ongkos pesawat sangat mahal.
”Pembeli paket wisata dalam negeri langsung sepi dan memilih piknik ke negara tetangga karena harga tiket pesawat jauh lebih murah dibandingkan harga tiket penerbangan dalam negeri,” kata Nathalia dari Sunrise Transholiday Tour & Travel, Surabaya.
Akhir-akhir ini bukan hanya paket wisata ke luar negeri yang diminati, tetapi juga banyak penumpang pesawat dari Surabaya ke Medan (Sumatera Utara), Batam (Kepulauan Riau), atau Banda Aceh justru memilih transit di Kuala Lumpur atau Penang. Disparitas harga tiket sangat signifikan. Harga tiket Surabaya-Medan dengan lama terbang tiga jam mencapai Rp 2,35 juta per penumpang. Sementara untuk rute Surabaya- Kuala Lumpur, harga tiketnya hanya Rp 370.000 per penumpang.
Klara Avina (28), misalnya, baru-baru ini melakukan perjalanan dari Surabaya ke Medan dengan transit di Kuala Lumpur. Harga tiketnya hanya Rp 500.000. ”Memang perjalanan jadi lebih lama karena harus transit di Kuala Lumpur, tetapi harga tiket jauh lebih murah,” katanya.
Harga tiket pesawat ke luar negeri dengan maskapai luar negeri, menurut Nathalia, benar-benar memukul sektor pariwisata. ”Paket wisata dalam negeri tidak ada yang melirik. Beberapa perusahaan, organisasi, atau komunitas yang sebelumnya rutin menggelar kegiatan di Bali, Malang, dan Yogyakarta cenderung meniadakan karena alasan ongkos pesawat sangat mahal,” katanya.
Sementara paket wisata ke luar negeri, seperti ke Malaysia dan Thailand, dengan biaya Rp 5,6 juta per orang, sudah mencakup berlibur selama lima hari di dua negara itu. Ada juga paket tiga hari ke Malaka, Malaysia, dari Surabaya dengan harga Rp 3,25 juta per orang. ”Untuk penerbangan November mendatang saja, harga tiket ke Kuala Lumpur dan Bangkok dari Surabaya masih di angka Rp 1,1 juta pergi-pulang per orang,” ujarnya.
Nasi belum menjadi bubur. Pemerintah dan pihak pemangku terkait di sektor pariwisata masih memiliki kesempatan untuk mengatasi persoalan ini secepat mungkin. Ini mengingat banyak komponen harga tiket pesawat yang mayoritas berada di tangan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan.
Hal itu sangat mungkin dilakukan jika perusahaan jasa dan barang pelat merah ini tidak semata-mata memburu buku korporasinya menjadi biru. Akan tetapi, mendahulukan kepentingan stabilitas ekonomi dan sosial daripada keuntungan semata. Jangan sampai karena kebijakan yang keliru, rupiah lari dan dollar pun pun melayang.