Prof Nasaruddin Umar: Jihad Bukanlah dengan Mengumbar Kekerasan, melainkan dengan Memuliakan Manusia
Selama ini ada kesan di sebagian masyarakat, jihad seolah melulu dimaknai sebagai perang atau gerakan yang diwarnai kekerasan. Padahal, makna jihad yang sejati adalah kerja keras untuk memuliakan martabat manusia dan menjaga kehidupan.
Oleh
ILHAM KHOIRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama ini ada kesan di sebagian masyarakat bahwa jihad seolah melulu dimaknai sebagai gerakan yang diwarnai kekerasan, bahkan perang. Padahal, makna jihad yang sejati adalah kerja keras untuk memuliakan martabat manusia dan menjaga kehidupan.
”Jihad itu bukan (untuk) mematikan. Jihad yang sesungguhnya itu menghidupkan orang. Kalau ada jihad yang bertujuan mematikan orang, itu bukan jihad. Jihad itu mengangkat martabat kemanusiaan,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal KH Prof Nasaruddin Umar saat memberikan ceramah dalam Silaturahim dan Halal Bihalal Karyawan Kompas Gramedia di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Acara bertema ”Keberagaman dalam Ukhuwah Islamiah” itu dihadiri karyawan dan pemimpin perusahaan di Kompas Gramedia (KG). Hadir, antara lain, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ninok Leksono, dan Direktur Corporate Communication Rusdi Amral. Hadir juga beberapa komisaris KG, seperti Irwan Oetama dan Nobertus Nuranto.
Nasaruddin menjelaskan, Islam sangat menekankan penghargaan atas kehidupan, termasuk lingkungan. Ketika berperang pun, Nabi Muhammad SAW berpesan agar pasukan tidak berlaku sewenang-wenang dan menebar kekerasan. Mereka dilarang untuk menyerang perempuan, orang tua, anak-anak, dan rumah ibadah agama-agama lain. Bahkan, ada pesan untuk tidak merusak lingkungan, seperti pepohonan.
Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) itu kemudian mengkaji makna ”Allahu akbar” yang selama ini juga identik dengan gerakan jihad. Dalam Islam, lafaz itu diucapkan seorang Muslim saat mengawali shalat dengan mengangkat kedua tangan. Gerakan ini berarti penyerahan diri, meleburkan ego pribadi manusia, seraya mengakui keagungan Allah.
Dalam konvensi perang, jika seseorang mengangkat tangan, itu artinya dia mengaku menyerah. Dia tak boleh ditembak. Kalau sudah menyatakan menyerah, tapi masih ditembak, itu termasuk pelanggaran dalam perang.
Kasih sayang
Nasaruddin, yang juga Guru Besar Bidang Tafsir Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mengingatkan, bahwa Islam sangat menekankan kasih sayang. Kasih itu dalam bahasa Al Quran disebut ”rahim”. Kata ini menjadi sifat Allah yang banyak disebut dalam Al Quran.
Dalam Islam, ada kosep al-asma al-husna yang berisi 99 nama Allah. Tapi, di antara semua sebutan itu, nama yang dikedepankan adalah al-rahman al-rahim. Sebutan itu menjadi ummu asma, induk dari semua nama Allah. Kebetulan, al-rahman dan al-rahim sama-sama berakar pada makna kasih sayang. Penekanan ini memberi pesan, siapa pun yang memeluk Islam hendaknya berorientasi pada kasih sayang dalam kehidupan.
Kata al-rahman dan al-rahim juga menjadi sifat Allah dalam bacaan ”bi ismi Allah al-rahman al-rahim”, yang berarti dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Basmalah kemudian selalu dibaca saat seorang Muslim akan melakukan sesuatu. Kalimat ini merupakan ayat pertama dari surat Al-Fatihah yang disebut sebagai ummu Al Quran (ibu dari Al Quran). ”Jika surat ini dipadatkan, maka penekanannya pada ayat pertama tersebut,” katanya.
Dalam konteks kasih sayang, Nasaruddin mengajak kita untuk menjaga persaudaraan secara lebih utuh. Selama ini kita dikenalkan pada tiga jenis persaudaraan, yaitu persaudaraan sesama Muslim, sesama manusia, dan sesama anak bangsa.
Konsep ini dapat dilengkapi dengan persaudaraan lebih luas, yaitu antarsesama makhluk. ”Dalam kehidupan ini, ada khalik (sang pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Kita perlu kembangkan persaudaraan dengan sesama makhluk,” katanya.
Selain ceramah, Halal Bihalal juga menampilkan penyanyi Sarwana dan kelompok musik para remaja yang dibina KG. Budiman Tanuredjo, dalam sambutannya, mengungkapkan, halal bihalal selalu digelar KG setiap tahun dan diikuti karyawan dan pemimpin perusahaan. Tradisi ini mencerminkan visi salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama, untuk membangun perusahaan tersebut sebagai Indonesia mini yang menghargai keberagaman.