Keuangan Partai Politik dan Korupsi Politik

Spanduk panjang partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 terpasang di pagar halaman Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (25/8/2018).
Partai politik yang masih belum sepenuhnya berubah turut menyumbang persoalan dalam kompleksitas konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tingginya biaya politik, keengganan membuka sumber dana partai, tertutupnya pola perekrutan, serta minimnya standar etik saling menjerat sehingga kerap dituding sebagai variabel yang menyebabkan korupsi politik mengakar.
Tiga sumber dana partai politik selama ini berasal dari iuran anggota, subsidi negara, dan sumbangan pribadi atau badan usaha yang tidak mengikat serta jumlahnya dibatasi undang-undang. Hal ini nyatanya belum bisa menutup kebutuhan minimum pendanaan partai.
Upaya mengurangi persoalan ini dilakukan pemerintah, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Bantuan dari negara untuk mendanai partai dinaikkan menjadi Rp 1.000 per perolehan suara di pemilu dari sebelumnya Rp 108 per suara.
Dari pandangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kenaikan bantuan dana untuk partai ini perlu diikuti sejumlah syarat. Dalam Kajian Dana Parpol yang dilakukan KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, disebutkan syarat yang harus dipenuhi ialah penegakan standar etik partai, pembenahan perekrutan dan kaderisasi partai, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana partai, serta pembenahan tata kelola partai.

Hanya saja, hal-hal itu belum sepenuhnya direalisasikan. Permintaan KPK terhadap 16 partai politik untuk menyerahkan rincian dana yang diterima dan digunakannya belum dipenuhi. Direktur Pendidikan dan Layanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono menyampaikan, laporan dana yang diserahkan partai ke KPK masih ”minimalis”.
”Hanya laporan dana untuk operasional. Belum menyeluruh, apalagi yang terkait dengan pemilu,” katanya.
Tantangan oligarki
Dalam buku Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia (2013), Marcus Mietzner menilai partai politik di Indonesia mengalami persoalan yang serius dalam menjalankan fungsi demokratis. Lemahnya sistem pendanaan partai memunculkan pilihan untuk memperoleh uang dari pihak luar yang berpotensi korup dan penuh intervensi dari kepentingan oligarki.
”Permasalahan moneter partai ini lama-kelamaan dapat menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi. Isu keuangan partai ini harus diselesaikan secara serius untuk kelangsungan partai politik di masa depan agar politik kartel yang disebut-sebut terjadi di Indonesia tidak berlanjut,” tulis Marcus.
Permasalahan moneter partai ini lama-kelamaan dapat menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi. Isu keuangan partai ini harus diselesaikan secara serius untuk kelangsungan partai politik di masa depan agar politik kartel yang disebut-sebut terjadi di Indonesia tidak berlanjut
Beranjak dari pandangan itu, transparansi terhadap sumber dana yang diperoleh partai merupakan keniscayaan. Apalagi, jika ingin memotong rantai korupsi politik yang bermula dari partai politik yang tertutup.

Ketua KPU Arief Budiman memberikan hasil audit laporan dana kampanye kepada perwakilan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Namun, jalan menuju capaian transparansi pendanaan keuangan partai politik di Indonesia masih cukup panjang. Salah satu indikator terkini ialah hasil audit laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dari tiap partai peserta Pemilu 2019.
Audit kepatuhan itu dilakukan kantor akuntan publik yang ditunjuk Komisi Pemilihan Umum. Hasilnya, seperti diumumkan KPU awal Juni, sembilan dari 16 parpol peserta Pemilu 2019 masuk kategori tidak patuh dan tujuh partai politik dinilai patuh terhadap ketentuan perundang-undangan.
Kriteria kepatuhan yang dimaksud ialah terkait pelaporan dana kampanye yang meliputi penyampaian laporan sesuai batas waktu, sumber dana kampanye dari sumber yang sah atau tidak bersumber dari yang dilarang, serta besaran sumbangan dana kampanye sesuai batas yang ditentukan. Temuan ketidakpatuhan dari hasil audit berkaitan dengan keterlambatan periodisasi pembukuan dan dana kampanye dari calon anggota legislatif secara pribadi yang tidak dimasukkan ke rekening khusus dana kampanye.
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, menyampaikan, ada sanksi administrasi sehubungan temuan ketidakpatuhan tersebut. Sanksinya menyesuaikan dengan bentuk ketidakpatuhannya.

Anggota KPU Hasyim Asyari
”Jika berkaitan dengan penerimaan dana dari pihak yang tidak semestinya, maka diwajibkan mengembalikan ke kas negara. Ketidakpatuhan lain sifatnya administratif,” katanya.
Kaderisasi
Berbicara mengenai pendanaan partai, tidak bisa dilepaskan dari persoalan perekrutan dan kaderisasi. KPK menemukan, lemahnya sistem perekrutan dan pola kaderisasi partai politik ini berdampak pada integritas partai. Namun, kelemahan perekrutan dan pola kaderisasi ini juga bermula dari pendanaan partai politik.
Partai politik cenderung terlihat enggan menjalankan proses kaderisasi berjenjang politisi untuk menduduki jabatan politik karena terbentur persoalan finansial. Akibatnya, orang-orang dengan modal pendanaan yang tinggi yang berpeluang dikirim partai untuk berlaga dalam berbagai macam pemilihan, atau sebagian karena memiliki hubungan kekerabatan, sehingga terbangun dinasti politik.
”Sesuai dengan prinsip simbiosis mutualisme, bekerjanya partai politik layaknya agen tiket tidak semata-mata untuk memfasilitasi orang-orang yang berduit agar dapat menjadi pejabat politik. Akan tetapi, juga untuk menyelamatkan partai dari krisis finansial,” tulis Muhadam Labolo dan Teguh Ilham dalam buku Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia.
Dari data KPK, lebih dari 60 persen perkara yang ditangani saat ini merupakan korupsi politik yang menjerat politisi. Dari persidangan sejumlah terdakwa kasus dugaan korupsi yang Kompas ikuti, terungkap bahwa sebagian dana hasil korupsi juga disebut mengalir ke partai.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch Donal Fariz.
Dalam konteks semacam itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menyampaikan, sanksi tegas pada partai perlu dilakukan. Menurut Donal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah mengatur sanksi pidana bagi partai yang menerima sumbangan yang bertentangan dengan undang-undang dan melebihi besaran yang ditentukan, yakni Rp 7,5 miliar dalam setahun untuk pengusaha dan Rp 1 miliar dalam setahun untuk perorangan.
Pada Pasal 40 Ayat 3 huruf e UU No 2/2008 disebutkan juga partai dilarang menggunakan fraksi di MPR, DPR, dan DPRD sebagai sumber pendanaan partai. Namun, sanksi untuk pelanggaran pasal ini tidak tercantum.
Donal menjelaskan, ada UU Tindak Pidana Korupsi yang dapat digunakan untuk menindak partai politik.
Dalam naskah akademik revisi UU Parpol yang disusun KPK dan dibahas bersama Kementerian Hukum dan HAM pada 24 Mei 2019, KPK mengusulkan sanksi pembekuan bahkan pembubaran partai yang terindikasi menerima aliran dana korupsi atau terlibat pencucian uang. Pembubaran tetap melalui Mahkamah Konstitusi berlandaskan pada putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada perkara terkait.
Sebagai pilar demokrasi, partai politik memegang peran strategis sehingga pembenahan tata kelola perlu diprioritaskan. Menyelamatkan partai politik berarti menyelamatkan juga demokrasi dan memotong benang kusut korupsi.