BI Melonggarkan Likuiditas Perbankan
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia menurunkan rasio giro wajib minimum perbankan sebesar 50 basis poin untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Melalui kebijakan itu, Bank Indonesia berharap kecukupan likuiditas perbankan dapat bertambah hingga Rp 25 triliun dalam setahun ini.
Melalui kebijakan pelonggaran rasio cadangan wajib perbankan itu, BI optimistis kredit perbankan tumbuh mencapai batas atas target, yaitu 12 persen. Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sepanjang tahun ini ditargetkan berkisar 8-10 persen.
Keputusan penurunan rasio giro wajib minimum (GWM) merupakan hasil dari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada 19-20 Juni 2019. Rapat ini juga memutuskan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending facility 6,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, penurunan rasio GWM dilakukan baik terhadap bank konvensional maupun bank syariah dan akan berlaku efektif pada 1 Juli 2019. Dengan demikian, rasio GWM atau rasio cadangan wajib pada bank konvensional menjadi 6 persen, adapun bank syariah menjadi 4,5 persen.
”Dari pantauan sebulan ini, kebijakan moneter yang akomodatif kita realisasikan berupa penambahan likuiditas untuk kecukupan di pasar uang dan perbankan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Sebelumnya, upaya untuk menambah likuiditas perbankan dilakukan BI melalui kebijakan operasi moneter. Sayangnya, pelaksanaan strategi operasi moneter melalui transaksi lindung nilai valuta asing bergantung pada preferensi dari masing-masing bank.
Sementara, lanjut Perry, dengan menurunkan rasio GWM sebesar 50 basis poin, maka ketersediaan DPK seluruh perbankan otomatis akan meningkat 0,5 persen. BI menghitung, penambahan total likuiditas perbankan bisa mencapai Rp 25 triliun.
”Saat ini kondisi likuiditas perbankan memang cukup ketat, hal itu terlihat dari rasio kredit terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) di level 94 persen,” kata Perry.
Saat ini kondisi likuiditas perbankan memang cukup ketat, hal itu terlihat dari rasio kredit terhadap simpanan di level 94 persen.
Pelonggaran likuiditas mendesak dilakukan karena berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/11/PBI/2015 batas bawah LDR, yang kemudian berubah menjadi rasio pinjaman terhadap penghimpunan dana atau loan to funding ratio (LFR), diatur sebesar 78 persen. Sementara batas atasnya ditetapkan 92 persen.
Perry optimistis, pelonggaran rasio cadangan wajib perbankan dapat memicu pertumbuhan kredit perbankan hingga mencapai batas atas sasaran pertumbuhan tahun ini, sebesar 12 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan DPK sepanjang tahun berkisar 8-10 persen.
”Kami harapkan seluruh bank menyalurkan pertumbuhan likuiditas ini kepada kredit. Kalau dana disalurkan, dan sebagian ada yang kembali disimpan ke bank tentu akan menyebabkan efek pengganda bagi perekonomian domestik,” ujarnya.
Baca juga: BI Genjot Pemerataan Distribusi Likuiditas
BI mencatat, kredit perbankan pada April 2019 tumbuh 11,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan Maret 2019 yang sebesar 11,5 persen.
Adapun pada April 2019, DPK perbankan tumbuh sebesar 6,6 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan DPK ini juga melambat dibandingkan Maret 2019 yang sebesar 7,2 persen.
Suku bunga tetap
Di tengah dorongan sejumlah kalangan untuk menurunkan suku bunga acuan, BI masih mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate. Perry mengatakan, BI menahan tingkat suku bunga acuan tetap di level 6 persen untuk mempertahankan daya tarik aset domestik.
Total aliran dana masuk dari awal Januari hingga Kamis, sebesar Rp 120,4 triliun. Jumlah dana ini masuk pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN), saham, dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Aliran dana asing yang masuk itu masih dibutuhkan Indonesia untuk menjaga keseimbangan transaksi berjalan.
Perry juga menyatakan, dampak perang dagang global memang memengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik yang juga belum tumbuh menggeliat. Eskalasi perang dagang telah berdampak pada penurunan kinerja ekspor Indonesia akibat keterbatasan permintaan dunia.
”Penurunan harga komoditas sangat berdampak pada penurunan kinerja ekspor meskipun harga sejumlah komoditas, seperti bahan baku kimia, besi, dan batubara masih relatif baik,” ujarnya.
BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2019 akan stagnan berbanding pertumbuhan ekonomi triwulan I-2019 sebesar 5,07 persen.
”Sumber pertumbuhan triwulan II-2019 masih dari konsumsi rumah tangga, dan investasi bangunan. Periode Ramadhan dan Lebaran menjaga daya beli di tengah penurunan ekspor,” kata Perry.
Untuk keseluruhan tahun, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan berada di antara 5 persen-5,2 persen. Adapun defisit transaksi berjalan pada 2019 diperkirakan 2,5 persen-3 persen produk domestik bruto (PDB).
Dihubungi secara terpisah, ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Wardana, menilai penurunan rasio GWM oleh BI menjadi sinyal kuat dari perubahan sikap otoritas moneter. Bank sentral kini mulai menempatkan ketersediaan cadangan dana perbankan sebagai prioritas dari kebijakan moneter.
”Penurunan rasio cadangan wajib perbankan memang dapat menambah likuiditas perbankan secara instan karena dana tetap GWM perbankan merupakan dana penempatan harian,” ujarnya.
Baca juga: Risiko Meningkat, The Fed Buka Ruang Penurunan Suku Bunga
Bank sentral kini mulai menempatkan ketersediaan cadangan dana perbankan sebagai prioritas dari kebijakan moneter.
Namun, lanjut Wisnu, pelonggaran rasio GWM tidak dapat secara instan mendorong kredit perbankan yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, proses penyaluran likuiditas bank menjadi aliran kredit membutuhkan waktu cukup lama.