Sang Primadona yang Mulai Murung
Sektor pariwisata yang selama ini diyakini paling kuat bertahan dan adaptif terhadap gempuran dampak isu perang dagang ekonomi global dan gonjang-ganjing politik, secara pasti dan perlahan, mulai terganggu.
Sang primadona itu tak lagi mampu bergoyang elok di panggung bisnis. Sang primadona itu kini tengah meratapi nasibnya yang terus terpinggirkan karena kebijakan kenaikan tarif tiket pesawat yang tak pernah ada ujungnya. Kemilau cahaya elok sektor pariwisata pun mulai meredup.
Sektor pariwisata yang selama ini diyakini paling kuat bertahan dan adaptif terhadap gempuran dampak isu perang dagang ekonomi global dan gonjang-ganjing politik, secara pasti dan perlahan, mulai terganggu. Padahal, sektor ini sampai pertengahan tahun 2019 paling produktif, bahkan tetap mampu memberikan pertumbuhan positif di tengah melorotnya kinerja ekspor nonmigas manufaktur untuk mendulang devisa.
Sektor pariwisata tetap mumpuni di tengah defisit neraca perdagangan Indonesia. Meskipun angka pertumbuhannya tidak besar, tetap saja memberikan secercah harapan bagi republik ini untuk mengais dollar dari wisatawan mancanegara ataupun domestik. Wajar jika pemerintah dan berbagai institusi bisnis pariwisata terkait yakin bahwa sektor ini adalah yang terbaik.
Saat kebijakan penentuan batas atas dan bawah yang dilakukan pemerintah memicu kenaikan harga tiket pesawat, bagasi penumpang, dan barang kargo, dengan sendirinya secara perlahan tetapi pasti hal itu memukul sektor ikutannya.
Aura bisnis pariwisata itu kian moncer di mata mereka. Optimisme itu semakin kuat ketika Indonesia berhasil menyabet penghargaan bergengsi sejagat sebagai pusat destinasi wisata halal dunia. Perjuangan itu tidak mudah dan layak diapresiasi. Kondisi positif akan pertumbuhan kuat pariwisata itu semakin menebalkan keyakinan para pelaku bisnis. Apalagi ketika melihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam lima bulan terakhir 2019 yang tumbuh sangat signifikan.
Di satu sisi, itu terjadi di tengah ramainya perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang semakin menguat sehingga memicu keguncangan ekonomi global. Pada saat yang sama, situasi di dalam negeri juga tidak dapat dibilang adem jika tak ingin disebut memanas jelang Pemilihan Presiden 2019. Pendek kata, dalam keruwetan ekonomi dunia dan ingar-bingar politik dalam negeri, negeri ini tetap saja menarik menjadi destinasi wisata dunia.
Harapan dan keyakinan pemerintah serta para pelaku bisnis pariwisata kian menebal ketika melihat laporan angka perkembangan bisnis pariwisata seperti dilansir BPS. Empat bulan terakhir, angka pariwisata dalam mendulang devisa terus meningkat dan kondisi itu bisa dilihat dalam periode yang sama enam tahun terakhir.
Gambaran gamblangnya, dalam periode yang sama Januari-April 2014 hingga Januari-April 2019, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) terus meningkat. Pada Januari-April 2014, jumlah wisatawan baru mencapai 2.947.684 orang, tahun 2015 pada periode yang sama meningkat menjadi 3.218.417 orang, tahun 2016 naik lagi menjadi 3.518.726 orang, tahun 2017 menjadi 4.262.519 orang, tahun 2018 naik menjadi 4.961.089 wisman, dan periode Januari-April 2019 terus menanjak menjadi 5.120.929 wisman.
Mulai meredup
Wajar saja jika semua pihak meyakini sektor ini adalah masa depan ekonomi Indonesia untuk memajukan ekonomi domestik dan meraup devisa. Namun, kini keyakinan itu mulai goyah.
Beberapa bulan terakhir, optimisme itu mulai merobek harapan para pelaku bisnis pariwisata, khususnya wisatawan domestik. Saat kebijakan penentuan batas atas dan bawah yang dilakukan pemerintah memicu kenaikan harga tiket pesawat, bagasi penumpang, dan barang kargo, dengan sendirinya secara perlahan tetapi hal itu pasti memukul sektor ikutannya.
Tingkat hunian hotel melorot tajam, agen perjalanan mulai rontok, bisnis wisata pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE) mulai banyak yang dibatalkan, transportasi sepi penyewa, dan pusat kuliner serta oleh-oleh yang umumnya dikelola oleh usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM) mulai sepi pengunjung.
Pukulan itu mulai dirasakan oleh pelaku bisnis pariwisata Riau. Pukulan itu paling dirasakan oleh pengusaha hotel berbintang sehingga memaksa mereka membanting harga kamar mendekati harga kamar hotel nonbintang. Namun, upaya itu tetap saja tak membuahkan hasil yang signifikan. Hal itu seperti dikatakan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Wilayah Riau Nofrizal yang dihubungi di Pekanbaru, Senin (17/6/2019) siang.
Beberapa hotel bintang empat menurunkan harga di bawah Rp 500.000 per malam karena jumlah tamu terus merosot. Dari situs pemesanan hotel secara daring, harga kamar untuk hotel bintang tiga di Pekanbaru pada pekan ini berada pada rentang Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per malam. Harga itu tidak jauh dengan harga hotel nonbintang yang berada di kisaran Rp 150.000 sampai Rp 200.000.
Sekarang ini, hampir tidak ada lagi kegiatan nasional di hotel berbintang di Pekanbaru akibat naiknya harga tiket pesawat.
Kondisi memprihatinkan itu juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Wilayah Riau Dede Firmansyah. Ia mengatakan, sejak awal tahun 2019, sudah tiga perusahaan travel anggota Asita Riau tutup karena kalah bersaing. Belasan agen lain memilih diam dan tidak berkegiatan sambil menunggu perubahan kondisi lebih baik.
”Pasar dalam negeri sekarang sangat berat buat agen travel di Pekanbaru. Lebih banyak yang menunggu dan berharap pemerintah dapat memberikan jalan keluar,” kata Dede.
Kepala Dinas Pariwisata Riau Fahmizal Usman mengakui, pariwisata Riau sedang mengalami gejolak cukup besar terkait kenaikan harga tiket pesawat. Beberapa hotel dan pemilik UMKM terpukul dengan kondisi itu.
”Beberapa pengusaha lokal kecil pemasok makanan ke hotel mengeluh kepada saya karena permintaan hotel semakin kecil. Pusat jajanan oleh-oleh juga mengeluh karena penjualan mereka terus merosot. Keluhan seperti itu semakin sering saya terima dari pelaku UMKM di Riau. Hal ini sangat berkaitan dengan berkurangnya kunjungan tamu ke Riau. Lihat saja pesawat Garuda Indonesia yang sebelumnya melayani rute Jakarta-Pekanbaru-Jakarta sebanyak tujuh kali sehari, sekarang tinggal tiga kali,” kata Fahmizal.
Banyak pembatalan
Kekhawatiran dampak kenaikan tiket pesawat juga dirasakan pelaku bisnis pariwisata di Sumatera Utara (Sumut). Pariwisata Sumut mulai terpuruk karena tingkat keterisian hotel kini hanya 30 persen, jauh menurun dibandingkan dengan tingkat hunian sebelumnya yang mencapai 75 persen. Yang paling terdampak adalah MICE. Banyak lembaga atau instansi membatalkan pertemuan atau pameran di Medan.
Padahal, napas wisata Sumut adalah MICE. Kenaikan harga tiket pesawat menjadi biang kerok kerontokan bisnis MICE. Sektor ini kelojotan, kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sumatera Utara Denny S Wardhana, di Medan, Senin, setelah banyak lembaga mulai mengalihkan pertemuan dan pameran ke Jakarta dan sekitarnya.
Dalam beberapa tahun belakangan, wisata MICE mendongkrak angka kunjungan wisata ke Sumut. Banyak perusahaan, lembaga, dan instansi pemerintah menggelar pertemuan, konvensi, dan pameran di Sumut. Mereka biasanya mengadakan pertemuan di Kota Medan, lalu berkunjung ke kawasan Danau Toba.
Namun, dalam setahun belakangan, banyak yang membatalkan pertemuan di Medan dengan alasan harga tiket pesawat yang mahal. Harga tiket penerbangan murah Jakarta-Medan yang biasanya sekitar Rp 800.000 kini sudah tembus Rp 2 juta. Lembaga yang sudah memesan jauh-jauh hari pun banyak yang membatalkan pertemuan dan pameran di Medan. Mereka mengalihkan acara ke Jawa untuk menekan biaya.
”Untuk dapat bertahan di tengah kondisi ini, kami menggarap pasar MICE lokal dari Pemprov Sumut, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi tetangga, serta perusahaan lokal. Namun, tetap tak menolong karena pangsa pasarnya sangat kecil,” kata Denny.
Hal itu juga disampaikan Nofizal. Menurut dia, sekitar setahun sebelum kenaikan harga tiket, Kota Pekanbaru mulai menggeliat menjadi kota penyelenggaraan acara MICE. Namun, sejak awal tahun 2019, kegiatan MICE di Pekanbaru langsung menyusut tajam.
”Sekarang ini hampir tidak ada lagi kegiatan nasional di hotel berbintang di Pekanbaru akibat naiknya harga tiket pesawat,” ujarnya.
Lebih memprihatinkan, kondisi itu berimbas ke agen perjalanan wisata. Ketua Asita Sumut Solahuddin Nasution mengatakan, agen perjalanan dan wisata di Sumut rata-rata mengalami penurunan omzet 50 persen. Untuk dapat bertahan, mereka mempromosikan paket wisata luar negeri yang jauh lebih murah dibandingkan wisata dalam negeri.
”Dengan uang Rp 4 juta, wisatawan dari Medan sudah dapat paket perjalanan ke Bangkok, Kuala Lumpur, atau Singapura. Kalau mau wisata ke Yogyakarta atau Bali, untuk tiket pesawat saja tidak cukup. Harga paket wisata dalam negeri lebih mahal dua kali lipat dibandingkan luar negeri,” katanya.
Kondisi yang sama juga dihadapi pelaku di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Semua bidang terkait, mulai dari akomodasi, penyedia jasa perjalanan dan wisata, hingga UMKM ikut terimbas. Pelaksana Tugas Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran NTB Gusti Lanang Patra di Mataram mengatakan, sejak mahalnya harga tiket dan kebijakan bagasi berbayar, tingkat hunian hotel di Mataram cenderung menurun, saat ini mencapai 20-30 persen dari total kamar.
”Tahun sebelumnya, ketika bulan puasa, hotel-hotel ramai tamu, tetapi bulan puasa tahun ini kamar banyak yang tidak terisi dan tamu restoran sepi. Bagaimana orang mau pelesir, sudah tiket mahal, harus bayar bagasi pula, jadi doble kenanya,” ujarnya.
Lanang menyebutkan, harga tiket pesawat rute Lombok-Jakarta di atas Rp 1,5 juta, padahal tahun-tahun sebelumnya Rp 700.000-Rp 800.000. Sementara ongkos pesawat rute Lombok-Kuala Lumpur Rp 700.000. Upaya maskapai penerbangan menurunkan batas atas harga tiket sebesar 12-16 persen sejak 15 Mei tidak berpengaruh positif terhadap hunian kamar hotel.
”Mestinya penurunan harga tiket sebesar 50 persen, baru bisa nendang tingkat hunian,” ucapnya.
Hal senada dikatakan Indah Puri Tiara dari Humas Hotel Aruna Senggigi, Lombok Barat. Tingkat hunian hotel dengan 143 kamar itu cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mencapai 30-40 persen.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asita NTB Dewantoro Umbu Joka menambahkan, tingginya harga tiket pesawat membuat wisatawan pikir-pikir untuk berwisata ke suatu daerah, termasuk NTB. Akibatnya, seperti efek domino, situasi itu berdampak ke semua bidang terkait industri pariwisata, mulai dari akomodasi, agen perjalanan dan wisata, hingga UMKM, seperti kuliner dan oleh-oleh.
Okupansi hotel menurun drastis seiring berkurangnya kunjungan wisatawan, khususnya domestik. ”Begitu juga dengan UMKM. Mereka lebih sadis. Sudah ada yang tutup. Yang lain tinggal menunggu waktu, sama-sama susah,” kata Dewantoro.
Produsen kopi Lombok di Mataram, Nurwardaini, mengatakan, usahanya sekadar bisa jalan. Sejak Januari hingga saat ini, pemilik toko oleh-oleh tidak memesan barang. Sebelumnya, ia bisa menjual kopi bubuk dengan berbagai varian rasa sebanyak 7 kilogram.