Upaya pencegahan sekaligus deradikalisasi terus dilakukan Pemerintah China terhadap mereka yang dinilai telah terkontaminasi terorisme serta ekstremisme.
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah China akan terus berupaya keras memastikan terorisme dan ekstremisme tidak berkembang di daratan negara tersebut. Upaya pencegahan sekaligus deradikalisasi terus dilakukan Pemerintah China bagi mereka yang dinilai telah terkontaminasi terorisme serta ekstremisme.
Hal itu mengemuka dalam acara bertajuk ”Xinjiang, Tiongkok dari Berbagai Aspek”, di Jakarta, Selasa (18/6/2019). Acara yang digelar Kedutaan Besar China itu dihadiri sejumlah pembicara dari Xinjiang. Hadir pula perwakilan beberapa organisasi Islam di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Persahabatan Ormas Islam.
Xinjiang merupakan provinsi otonom terbesar di China. Dari 21 juta penduduknya, mayoritas warga provinsi itu adalah etnis Uyghur (45,8 persen), yang serumpun dengan bangsa Turki.
Selain bahasa yang sama sekali berbeda dengan mayoritas etnis di China, Uyghur merupakan etnis beragama Islam terbesar di China. Dalam sejarahnya, Xinjiang diwarnai konflik panjang berkaitan dengan munculnya gerakan separatis.
Yu Zhigang, selaku Wakil Kongres Rakyat Nasional (NPC) China, mengungkapkan, sejak serangan teror di Amerika Serikat pada 11 September 2001 (atau peristiwa 9/11), gangguan hingga serangan teroris juga beberapa kali terjadi di China. Sebagai bagian dari penanganan terhadap gerakan terorisme, China kemudian belajar banyak dari negara-negara lain.
”Seperti penerapan undang-undang antiterorisme, kami juga memberlakukan hukuman sebagai upaya untuk mengukur sekaligus mengintegrasikan kembali warga ke masyarakat hingga keluarganya. Kami membantu sekaligus mendidik mereka dengan keterampilan yang bagus serta berguna untuk masyarakat,” tutur Yu.
Menurut dia, apa yang dilakukan China mungkin berbeda dengan cara negara-negara lain menangani terorisme. Disebutkan bahwa ada perbedaan cukup jelas hukum di China dengan hukum di Eropa dan AS.
Di China, tindakan kriminal yang dikategorikan berat akan dihukum. Namun, jika sifatnya dinilai ringan, pelaku akan cukup dikirim ke rumah detensi. Kategorisasi terkait terorisme pun dibedakan, bergantung pada pelaku kriminal berat atau ringan. Tindakan pencegahan serta penerapan hukuman dilakukan secara simultan.
Menurut catatan Kompas, beberapa ormas Islam bersama Majelis Ulama Indonesia, selama sepekan pada Februari lalu, berkesempatan mengunjungi provinsi otonom Xinjiang, China, terutama ke kawasan yang dihuni kaum Muslim Uyghur. Selain untuk bersilaturahmi, kunjungan ini bertujuan menggali informasi tentang kondisi umat Muslim Uyghur di Xinjiang.
Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam Lufti Amir Attamini menilai, kerja sama penanganan dan pencegahan terorisme sepatutnya didorong antara China dan Indonesia.
Menurut Lufti, radikalisme adalah gejala awal seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan teror. Ia pun mendorong Pemerintah China tidak memberikan kesempatan bagi hidup dan berkembangnya radikalisme hingga terorisme.
”Terorisme adalah musuh terbesar kita bersama saat ini. Kita harus bekerja bersama. Silakan China bekerja sama dengan Indonesia karena kami memiliki aneka pengalaman dalam menangkal gerakan-gerakan terorisme,” kata Lufti.
Berdasarkan catatan Kompas, agama Islam di China berkembang sejak abad ke-9, tetapi pengaruhnya secara masif terjadi sejak abad ke-15. Karena itu, selain pengaruh dari Konfusius, Buddha, dan Taoisme, ada pengaruh dari Islam dalam pembentukan kebudayaan China.
Perpaduan budaya pun terjadi, misalnya pada bentuk masjid yang merupakan gabungan arsitektur berbagai kebudayaan. China memiliki pula Al Quran yang ditulis di potongan kayu atau dipahat di batu, seperti terlihat di Masjid Niujie, Beijing.
Terorisme adalah musuh terbesar kita bersama saat ini. Kita harus bekerja bersama.
Jumlah umat Islam di China kini 23 juta orang dari 13 etnis. Jumlah terbesar berasal dari Hui, yakni 11 juta orang, lalu Uyghur 10 juta orang.
Selain itu, ada Kazakh, Dongxiang, Kirgiz, Salar, Tajik, Baoan, Uzbek, dan etnis Tatar. Kini ada 720-an organisasi Islam di China. Semuanya bergabung dalam wadah nasional asosiasi Islam, atau kalau di Indonesia, kira-kira semacam Majelis Ulama Indonesia.
Meski negara komunis itu tegas memisahkan urusan agama dengan pemerintahan, ada beberapa hal di mana pemerintah membantu pengembangan agama. Pemerintah China, misalnya, menyubsidi setiap masjid ataupun imam masjid. Bahkan, Pemerintah China membiayai pendidikan agama bagi yang ingin menjadi ulama, imam masjid, ataupun pengurus masjid.