JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi nelayan kecil untuk menghasilkan produksi tuna bernilai premium semakin meningkat. Pengelolaan perikanan skala kecil diperkuat untuk menembus pasar dunia, antara lain dengan memperbaiki sistem data serta menggunakan perangkat elektronik modern.
Untuk pertama kalinya, Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), Anova, dan PT Harta Samudra, bekerja sama dengan Bumble Bee Seafoods dan perusahaan asal Jerman, SAP, mengimplementasikan sistem ketertelusuran rantai pasok ikan. Sistem ini menghubungkan kapal nelayan pancing ulur tuna sampai kepada konsumen.
Fisheries Improvement Program Manager Yayasan MDPI Wildan, di Jakarta, Senin (17/6/2019), menuturkan, sistem ketertelusuran rantai pasok ikan itu menggunakan teknologi blockchain untuk menyimpan basis data dari setiap transaksi ikan. Adapun basis data diperoleh melalui aplikasi Trace Tales yang dikembangkan MDPI untuk pengolahan, penyimpanan, pemrosesan makanan laut, dan penyimpanan data produk.
Direktur Eksekutif MDPI Saut Tampubolon menambahkan, keberhasilan peningkatan penelusuran ini bermanfaat bagi perikanan pancing ulur Indonesia.
”Nelayan kecil dapat menunjukkan bahwa mereka beroperasi dalam rantai pasok yang dapat dilacak dan legal,” katanya.
Trace Tales memfasilitasi keberhasilan implementasi teknologi blockchain untuk rantai pasok tuna sirip kuning dengan alat tangkap pancing ulur di Indonesia. Sejak 2018, hampir 2.300 ton produk beku dari lima pabrik dapat dilacak menggunakan sistem Trace Tales.
Trace Tales dan SAP blockchain dipasang di dua pabrik pengolahan PT Harta Samudra, yaitu di Ambon dan Buru (Maluku). Sistem yang sama dipasang di PT Aneka Sumber Tata Bahari Tulehu, Maluku Tengah, dan di PT Blue Ocean Grace International (BOGI) di Bitung, Sulawesi Utara.
MDPI telah membina ribuan nelayan pancing ulur mitra PT Harta Samudera untuk memperoleh sertifikasi fair trade dari Amerika Serikat. Sertifikasi itu mencakup proses hulu-hilir, mulai dari nelayan hingga industri pengolahan.
Lembaga sertifikasi Fair Trade telah menjalin kemitraan dengan banyak pelaku ritel di AS, salah satu negara konsumen utama tuna di pasar global.
Sertifikat itu menguntungkan nelayan kecil karena memperoleh dana premium. Dana ini adalah tambahan 0,3 dollar AS per kilogram ikan jika nelayan memasok perusahaan yang juga tersertifikasi Fair Trade. Hingga April 2019, nelayan binaan tersebar di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara, sebanyak total 3.679 orang.
Direktur Anova Technical Services LLC Blane Olson, dalam siaran pers, mengatakan, teknologi blockchain berperan penting dalam ketertelusuran produk perikanan. ”Blockchain adalah alat mutakhir untuk menggabungkan semua teknologi terkait dengan makanan laut yang ada ke dalam semua lini untuk memastikan transparansi, ketertelusuran, akuntabilitas keamanan pangan, dan kegiatan perikanan yang legal dari kapal penangkap ikan ke konsumen akhir,” kata Blane. (LKT)