Polusi Udara Kian Buruk, Presiden dan Tiga Kepala Daerah Digugat
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polusi udara di DKI Jakarta kian memprihatinkan. Sumber polusi disebut tak hanya berasal dari Ibu Kota, tetapi juga dari dua daerah di sekitarnya. Atas dugaan kelalaian menangani polusi udara itu, tiga kepala daerah, sejumlah menteri, dan Presiden akan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Gugatan yang akan diajukan pada akhir Juni 2019 itu berupa gugatan warga negara (citizen law suit). Tujuan gugatan itu adalah pemerintah harus dapat membuat kebijakan dan rencana aksi konkret yang lebih terarah dan terkoordinasi antardaerah sekitar untuk memulihkan kualitas udara.
Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, dalam konferensi pers ”Gugatan Warga untuk Udara Bersih” di Jakarta, Selasa (18/6/2019), mengatakan, kualitas udara di DKI Jakarta telah melebihi baku mutu udara yang telah diatur secara nasional dan internasional. Kualitas udara yang masuk dalam kualifikasi tidak sehat itu tak hanya terlihat secara rata-rata harian, tetapi juga rata-rata tahunan.
”Kita dalam darurat polusi udara. Jangan sampai kita diam saja, akhirnya generasi berikutnya akan menerima dampak dari polusi udara ini. Kalau tidak ada yang melakukan gugatan ini, bisa jadi pemerintah hanya santai-santai dan tidak menjadikan polusi udara ini menjadi prioritas,” ujar Bondan.
Berdasarkan catatan Greenpeace Indonesia, pada 4 Juni lalu atau sehari sebelum Lebaran, tingkat partikel debu atau particulate matter (PM) 2,5 di DKI Jakarta mencapai 70,8 mikrogram per meter kubik. Angka itu lebih tinggi daripada baku mutu udara yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 65 mikrogram per meter kubik.
Selain itu, lewat indeks yang sama, PM 2,5, kualitas udara di Ibu Kota juga terlihat mengkhawatirkan. Selama setahun (Januari-Desember 2018), ada 196 hari yang tergolong tidak sehat. Sementara itu, kualitas udara yang baik hanya selama 34 hari.
Apabila dilihat dari rata-rata tahunan, kualitas udara di Jakarta juga buruk. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, rata-rata tahunan PM 2,5 di DKI Jakarta mencapai 34,57 milkrogram per meter kubik, yang mana baku mutu udara secara nasional adalah 15 mikrogram per meter kubik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut standar mutu udara seharusnya hanya 10 mikrogram per meter kubik.
”Itu artinya, kita mau pakai standar nasional dan internasional, kualitas udara kita sudah melebihi baku mutu. Jadi mau apalagi yang akan disanggah?” kata Bondan.
Ia menduga kualitas udara yang buruk itu diakibatkan beberapa hal, di antaranya asap industri, transportasi, pembakaran sampah, dan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang ada di sekeliling Jakarta. Dengan demikian, sumber polusi itu tak hanya dari Jakarta, tetapi juga dari daerah-daerah di sekitarnya.
Salah satu dari citra satelit yang didapatkan Greenpeace Indonesia pada Juli-Agustus 2018 menunjukkan, PLTU di Suralaya, Banten, telah menyumbang polusi udara ke Jakarta saat angin berembus ke arah barat.
Oleh karena itu, lanjut Bondan, masalah polusi udara ini seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinisi DKI Jakarta, daerah-daerah penopang Jakarta, dan presiden. Harapannya, ke depan, ada inventarisasi emisi sehingga kebijakan yang diambil dapat lebih terarah dan konkret.
”Revisi kebijakan yang ada dan kami memaksa agar mereka melakukan koordinasi antarpemerintah daerah. Karena yang namanya udara itu, kan, lintas batas, dia bergerak. Jadi enggak bisa tanggung jawab udara ini hanya di satu provinsi, tetapi harus semuanya,” kata Bondan.
Mengacu pada masalah itu, pada April, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta membuka posko pengaduan untuk menuntut udara bersih. Setidaknya ada 48 orang yang mendaftar di posko pengaduan tersebut dan mendaftarkan dirinya sebagai calon penggugat.
Para calon penggugat itu terdiri atas lintas profesi, seperti tukang ojek, mahasiswa, ibu rumah tangga, peneliti, dosen, pegawai negeri sipil, jurnalis, karyawan swasta, dan advokat. Mereka bertempat tinggal dan bekerja di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Pengacara publik dari LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengatakan, gugatan warga negara (citizen law suit) ini dilayangkan sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah akibat lalai menangani polusi udara di Jakarta. Gugatan akan diregistrasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada akhir Juni ini.
Ada tujuh calon tergugat yang akan dicantumkan dalam gugatan nanti, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Ada tujuh calon tergugat yang akan dicantumkan dalam gugatan nanti, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Ada dua undang-undang yang berpotensi dilanggar para calon tergugat, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
”Saat ini kami masih melengkapi administrasi dari para calon penggugat. Kami tak mau terburu-buru. Jangan sampai karena masalah administrasi nanti, para calon penggugat ini disebut tak punya legal standing atau kedudukan hukum,” ujar Ayu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi pun menambahkan, gugatan kepada tiga pemerintah daerah ini diharapkan kelak bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah lainnya agar lebih memperhatikan kualitas udara di daerahnya.
”Jakarta harusnya bisa menjadi pemantik pemerintah daerah yang lain agar berpikir bahwa masih ada banyak hal yang harus dikerjakan untuk menjaga kualitas hidup warganya,” kata Tubagus.