Pekerja proyek properti beristirahat di trotoar jalan protokol Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu (16/2/2019). Pertumbuhan proyek properti dan juga proyek infrastruktur di Jakarta dan sekitarnya menyerap banyak tenaga kerja sektor informal.
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi digital memengaruhi tatanan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Pemerintah mesti menaruh perhatian terhadap kondisi ini dengan melahirkan kebijakan baru yang mengedepankan bisnis berkelanjutan dan kesejahteraan pekerja.
Pendiri dan CEO Sribulancer.com Ryan Gondokusumo, Senin (17/6/2019), di Jakarta, berpendapat, pelaku usaha besar ataupun usaha kecil menengah semakin sadar mengenai peran pemasaran digital untuk menciptakan peluang bisnis baru. Untuk menjalankan upaya ini, mereka kerap membutuhkan pekerja dengan keahlian khusus.
Keahlian khusus itu meliputi, antara lain, desain grafis, pengembangan web dan aplikasi, penulisan kreatif, fotografi, dan memasukkan data. Keahlian-keahlian seperti ini tidak selalu menjadi kebutuhan rutin perusahaan. Maka, sejumlah perusahaan merekrut pekerja lepas, yang diyakini menekan pengeluaran.
Sribulancer.com, platform penawaran jasa tenaga kerja lepas, berdiri pada 2014. Hingga kini, Sribulancer.com menjadi ruang bagi lebih dari 50.000 pekerja lepas yang mayoritas berusia 20-30 tahun dan tidak berstatus karyawan tetap di suatu perusahaan.
Per Mei 2019, pekerja lepas yang terdaftar di Sribulancer.com tersebar di Jabodetabek (53.216 orang), Bandung (12.468 orang), Surabaya (9.767 orang), Yogyakarta (7.886 orang), dan Malang (5.771 orang). Ada juga di Semarang (5.765 orang), Medan (2.982 orang), Denpasar (2.332 orang), Makassar (1.715 orang), Tanjung Pandan (41 orang), Sorong (40), dan Timika (21 orang).
Ryan menuturkan, permintaan jasa per Mei 2019 sebanyak 26.364 orang. Kategori bidang jasa yang paling banyak diminta adalah desain dan multimedia, yakni 5.149 permintaan, serta pengembangan laman sebanyak 4.576 permintaan.
Perusahaan pengguna jasa atau biasa disebut klien juga berkembang. Pada 2017, ada 6.124 klien yang naik menjadi 6.315 klien pada 2018.
Tren permintaan jasa terhadap jenis keahlian tertentu berbeda setiap bulan. Namun, permintaan mengenai keahlian desain dan multimedia selalu banyak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang.
Konferensi
Sementara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menggelar Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) yang ke-108 pada 10-20 Juni di Geneva, Swiss.
Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, dalam siaran pers, mengemukakan, ILC yang ke-108 diawali pertemuan unsur tripartit, yang dilanjutkan dengan dialog bersama untuk mencari terobosan atas isu dan tantangan ketenagakerjaan di masa depan.
Delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri aktif menyampaikan pendapat di empat komite pembahasan. Salah satunya pada komite keseluruhan yang membahas rancangan deklarasi ILO berkaitan dengan isu pekerjaan di masa depan.
Delegasi Indonesia dari unsur pengusaha/Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Aloysius Budi Santoso, yang dihubungi secara terpisah, mengemukakan, perdebatan masih mewarnai sidang ILC yang ke-108. Dari kalangan pengusaha, misalnya, berpendapat korporasi tetap penting untuk tumbuh berkelanjutan di era revolusi industri 4.0.
”Korporasi tetap harus adaptif terhadap teknologi dan bisnisnya tumbuh berkelanjutan. Pengusaha juga berharap peraturan-peraturan yang nantinya dikeluarkan pemerintah menyikapi disrupsi digital, fleksibel,” ujarnya.
Aloysius menambahkan, disrupsi teknologi digital berdampak terhadap tatanan bisnis. Hal ini juga mesti dipahami kelompok pekerja atau buruh.
Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, mengatakan, Pemerintah Indonesia yang telah memiliki kebijakan nasional Making Indonesia 4.0 semestinya segera menurunkan kebijakan itu ke regulasi ketenagakerjaan. Dia mengamati, sejauh ini tidak ada peraturan dari Kementerian Ketenagakerjaan yang disiapkan untuk menyikapi era revolusi industri 4.0.
Menurut dia, ada dua persoalan ketenagakerjaan yang mendesak dibuat kebijakan. Persoalan pertama menyangkut nasib pekerja yang bekerja di sistem berbagi hasil ekonomi. Persoalan kedua berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi risiko pekerja yang terdampak disrupsi teknologi digital. Pemerintah disarankan mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan kebutuhan revolusi industri 4.0.
Rekson menambahkan, dalam konteks menghadapi pekerjaan di masa depan, ILO mengingatkan isi deklarasi ILO 1944, yakni buruh bukan barang dagangan. Selain itu, ILO juga menekankan bahwa masa depan pekerjaan di dunia bukan ditentukan keputusan robot atau teknologi kecerdasan buatan. (MED)