Kesejahteraan datang bersama teman-temannya, usia harapan hidup lebih lama hingga kerja keras dalam waktu panjang. Negara-negara berpenduduk sejahtera juga harus membayar berbagai harganya.
Jepang, salah satu negara yang tergolong paling sejahtera, punya sejumlah daftar harga untuk kemakmurannya kini. Jepang harus menghadapi kekurangan tenaga kerja kerja, padahal jumlah penduduk usia lanjut meningkat. Peningkatan biaya perawatan kesehatan akibat usia harapan hidup yang lebih lama dan layanan keuangan bagi penduduk usia lanjut.
Lembaga Nasional untuk Kajian Kependudukan dan Kesejahteraan Sosial (IPSS) Jepang mencatat negara itu menjadi yang tercepat untuk peningkatkan populasi tua. Hanya butuh 48 tahun bagi Jepang untuk meningkatkan jumlah penduduk berusia di atas 65 tahun dari tujuh persen menjadi 28 persen terhadap populasi. Spanyol perlu 87 tahun, Italia 102 tahun, dan Perancis hingga dua abad untuk mencapai persentase seperti Jepang.
Masalah bagi Jepang, juga di negara lain yang sudah sejahtera, bukan hanya penduduk usia lanjut yang terus bertambah. Angka kelahiran juga merosot. Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Tenaga Kerja Jepang mencatat hanya 946.065 bayi lahir di 2017 dan merosot jadi 918.397 bayi di 2018. Angka kelahiran di 2018 paling rendah sejak 1899. Sementara angka kematian terus bertambah dari 1.340.397 jiwa pada 2017 menjadi 1.362.482 jiwa pada 2018.
Pemerintah Jepang juga mencatat hanya 606.866 pasangan di 2017 dan 586.438 pasangan di 2018 yang menikah. Perempuan Jepang menikah di usia rata-rata 31,1 tahun dan prianya di usia 29,4 tahun. Ada pun tingkat kesuburan turun dari 1,42 di 2017 menjadi 1,41 di 2018. Padahal, Jepang membutuhkan tingkat kesuburan 2,7 untuk mempertahankan jumlah populasi.
“Kondisi ekonomi dan kesulitan mengelola waktu antara bekerja dan membesarkan anak menjadi penyebab utama penurunan angka kelahiran. Kita perlu mendorong kebijakan yang mendukung warga untuk punya anak,” demikian pernyataan Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Tenaga Kerja Jepang.
Dengan fakta itu, tidak heran populasi Jepang merosot dari 128 juta pada 2010 menjadi 124 juta pada Oktober 2018. Bahkan, pemerintah Jepang memprediksi penduduk negara itu hanya 88 juta orang pada 2065 dan menjadi 50 juta di 2115.
Dampak
Penurunan jumlah penduduk berarti berkurang pula jumlah orang yang bisa bekerja dan bertambahnya pensiunan. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut banyak negara gagap membenahi sistem pensiun dan ketenagakerjaan pada perubahan struktur demografi itu. “Negara-negara G-20 paling cepat menua. Saya khawatir tren ini terus berlanjut. Ini bukanlah sesuatu yang bisa tiba-tiba dihentikan,” kata Direktur Jenderal OECD Angel Gurria.
Jepang sudah merasakan itu. Berkurangnya jumlah pekerja berarti jumlah pembayar iuran pensiun menurun. Akibatnya, pensiunan sekarang khawatir manfaat pensiun yang mereka terima akan berkurang. Sementara para pekerja muda malah takut tidak akan menikmati manfaat pensiun sama sekali.
Pengurangan populasi usia produktif juga membuat perusahaan-perusahaan Jepang tidak bisa memenuhi kebutuhan pekerjanya. Jepang diprediksi kekurangan hingga 930.000 pekerja sampai 2025.
Tidak hanya pabrik atau aktivitas produktif lain yang mengalami kekurangan itu. Panti-panti jompo Jepang juga kekurangan perawat di tengah peningkatan jumlah penghuninya.
Solusi
Jepang melakukan berbagai upaya untuk mengatasi keadaan itu. Pemerintah memberikan subsidi biaya perawatan hingga 15.000 yen per anak. Selain itu, seluruh pusat penitipan anak disubsisi hingga 90 persen dari seluruh biaya operasional. Standard pengelolaan dan biaya operasional setiap pusat penitipan anak diatur pemerintah. Kualitas pengelolaan juga dipantau secara berkala oleh pemerintah Jepang. Kebijakan itu untuk mendorong agar orang mau punya anak sehingga populasi bertambah.
Pemerintah Jepang juga mengubah kebijakan imigrasi untuk menarik pekerja asing. Sejak 1 April 2019, Jepang menerapkan kebijakan visa baru untuk pekerja asing. Kebijakan itu untuk menarik hingga 345.000 pekerja asing pada 14 jenis lapangan kerja seperti pendukung kedirgantaraan, konstruksi, pramuwisma dan perhotelan, perawatan pasien dan penduduk usia lanjut, pertanian, perikanan, galangan kapal, hingga industri logam dalam lima tahun ke depan.
Kebijakan baru itu memang belum sepenuhnya didukung semua pihak. Dalam jajak pendapat oleh Reuters pada Mei 2019 terungkap hanya satu dari empat perusahaan Jepang yang mau secara aktif memanfaatkan mekanisme baru itu. Faktor bahasa dan budaya menjadi alasan utama. Sementara perusahaan yang berminat memanfaatkan mekanisme baru itu mengindikasikan tidak mau menunjang calon pekerja untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan pelatihan bahasa atau budaya sehari-hari di Jepang. Sementara sebagian kenshusei di Jepang sekarang kurang berminat pada program itu gara-gara tidak bisa membawa keluarga dan masa tinggal yang singkat. (*/REUTERS)