Kesetaraan Layanan Kesehatan Kurangi Beban Penyakit Perempuan Indonesia
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Peningkatan usia harapan hidup pada perempuan tidak menjamin kualitas hidup yang dijalankan juga baik. Berbagai beban penyakit nyatanya masih membayangi sebagian besar perempuan di Indonesia. Untuk itu, kesetaraan dan keadilan gender dalam pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan.
Riset yang dipublikasikan di The Lancet menunjukkan, usia harapan hidup perempuan di Indonesia meningkat dari 64,9 tahun (1990) menjadi 73,6 tahun (2016). Pertambahan ini lebih tinggi dari usia harapan hidup laki-laki yang hanya meningkat 7,4 tahun pada 2016 dari sebelumnya 62,4 tahun (1990).
Peneliti Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Tety Rachmawati menyatakan, selisih antara usia harapan hidup perempuan dengan usia harapan hidup produktif masih tinggi, yakni 9,87 tahun. Artinya, selisih usia tersebut bisa disebabkan karena beban penyakit serta cedera yang dialami.
“Selisih yang tinggi antara usia harapan hidup dengan usia harapan hidup produktif bisa menunjukkan perempuan lebih panjang masa sakitnya. Dari riset, beban penyakit perempuan yang tinggi disebabkan oleh faktor risiko perilaku yang buruk,” ujar Tety.
Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi publik bertema “Isu dan Tantangan Peningkatan Akses dan Kualitas Layanan Kesehatan bagi Perempuan di Indonesia”. Diskusi ini diselenggarakan oleh program Mampu yang merupakan kemitraan antara Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.
Riset yang dipublikasikan di The Lancet menunjukkan, usia harapan hidup perempuan di Indonesia meningkat dari 64,9 tahun (1990) menjadi 73,6 tahun (2016)
Adapun beban penyakit yang banyak dialami oleh perempuan di Indonesia, antara lain, penyakit kardiovaskular (stroke, jantung koroner, dan diabetes), kanker (kanker payudara, kanker serviks, dan kanker paru), kesehatan reproduksi, serta gizi maternal dan neonatal. Penyakit tersebut sebagian besar disebabkan oleh perilaku dan metabolik.
“Maternal dan neonatal masih tinggi di beberapa provinsi terutama di Indonesia bagian Timur. Disparitas layanan kesehatan menjadi salah satu penyebab kondisi tersebut,” ujar Tety.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ascobat Gani menambahkan, belum meratanya fasilitas layanan kesehatan menambah besarnya risiko penyakit yang dialami perempuan. Meskipun program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat sudah mencakup sekitar 220 juta penduduk Indonesia, fasilitas kesehatan yang tersedia masih terbatas.
Fasilitas kesehatan reproduksi pun belum bisa dijangkau masyarakat, terutama di daerah pelosok. “Belum lagi infrastruktur yang tidak mendukung. Bagi masyarakat yang tidak mampu, meskipun biaya kesehatan sudah dijamin pemerintah, biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan masih membebani, terutama di Indonesia Timur,” katanya.
Fasilitas kesehatan reproduksi pun belum bisa dijangkau masyarakat, terutama di daerah pelosok
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengatakan, perubahan aturan mengenai JKN pada pasal 52 ayat (1r) Peraturan Presiden Nomor 82/2018 bisa merugikan perempuan. Pada pasal itu disebutkan, BPJS Kesehatan tidak lagi menjamin gangguan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan korban perdanganan orang.
“Dari perubahan aturan itu, jika ada perempuan yang memiliki gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental yang disebabkan tindak penganiayaan menjadi tanggung jawab LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Padahal, itu harus dibuktikan dulu sebagai pelanggaran pidana. Proses ini cukup panjang sehingga perempuan semakin menjadi korban,” tuturnya.