JAKARTA, KOMPAS – Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton menganggap penyelundupan sampah melalui impor kertas bekas, lamban ditangani. Padahal dampak buangan sampah impor berupa limbah cair sudah diidentifikasi sejak 10 tahun terakhir.
Menurut Direktur Ecoton Prigi Arisandi, kasus impor sampah sudah pernah dilaporkan oleh Ecoton sejak Februari lalu kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hanya saja, respon baru didapatkan saat Malaysia dan Filipina bereaksi keras.
“Kami sudah mengirimkan surat tapi tidak ada balasan. Baru direspon setelah Malaysia dan Filipina mengirim balik sampah-sampah tersebut,” katanya saat dihubungi di Surabaya, Senin (17/6/2019).
Ia juga mengatakan, bahwa penyelundupan sampah tersebut terjadi salah satunya karena pengawasan yang lemah. Sistem inspeksi oleh Sucofindo dan Surveyor Indonesia dianggap tidak berjalan dengan maksimal.
Menurut Prigi, ada dua pintu besar yang bisa dimanfaatkan eksportir kertas untuk menyelundupkan material sampah plastik. Dua pintu tersebut adalah Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta mengingat keberadaan industri kertas di sekitarnya.
“Industri kertas di Surabaya dan sekitarnya sekitar 30-40 persen. Raksasanya justru ada di Jakarta dan sekitarnya,” ujarnya.
Prigi mendorong kepada pemerintah agar mengidentifikasi wilayah terdampak buangan sampah impor di Bekasi, Karawang, Gresik, Mojokerto, Malang dan Bogor. Wilayah-wilayah tersebut selama 10 tahun ini mereka identifikasi sebagai dump site sampah impor.
Selain itu, mereka juga menyarankan adanya pengendalian kontaminasi mikroplastik di limbah industri kertas. Berdasarkan riset Ecoton pada 12 pabrik kertas berbahan kertas impor tahun 2018, sebesar 100 persen limbah cairnya mengandung mikroplastik.
“Mesin mereka kan didesain tidak mengolah plastik, tapi mengolah kertas. Ukurannya kecil hanya sekitar 0,5 milimeter,” katanya.
Sebagai langkah lanjutan, Ecoton menyarankan agar KLHK, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Asosiasi Pulp dan Kertas (APKI) mendorong pemerintah eksportir melakukan sertifikasi eksportir sampah kertas. Dengan begitu, akan ada daftar eksportir bersertifikat.
Sistem pemilahan dan komitmen eksportir nantinya tidak perlu diragukan lagi. Sampah kertas yang diekspor ke Indonesia, kontaminannya tidak lebih dari 1-2 persen. Selain itu, perlu ada perbaikan sistem pengelolaan sampah dalam negeri sehingga volume impor kertas bekas bisa berkurang.
Ubah frasa
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengusulkan agar frasa-frasa dalam perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun diperjelas.
Salah satunya mengusulkan agar impor sampah kertas digeser dari kategori jalur hijau menjadi jalur merah. Dengan catatan apabila jumlah sampah kertas yang masuk cukup besar. Langkah tersebut didukung oleh Ecoton agar bea cukai bisa melakukan inspeksi.
Di Batam, KLHK saat ini tengah melakukan investigasi terhadap 65 kontainer sampah plastik yang diduga terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). “Kami akan lakukan investigasi pada Selasa,” kata Rosa.