Memanggungkan kain tradisional dalam industri mode membuatnya berpotensi memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini dapat mendorong lahirnya petenun baru yang kini jumlahnya kian minim.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Memanggungkan kain tradisional dalam industri mode membuatnya berpotensi memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini dapat mendorong lahirnya petenun baru yang kini jumlahnya kian minim.
Hal ini dibuktikan dalam peragaan busana Medan Fashion Trend 2019 bertema ”Garden Paradise” di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (15/6/2019). Acara yang diselenggarakan Dolling School of Fashion Design dan Indonesian Fashion Chamber (IFC) Medan itu menampilkan lebih dari 100 karya berbahan kain tradisional asal Sumut, seperti ulos dan songket.
”Kami mempunyai misi memadukan karya petenun daerah dengan rancangan mode dari fashion designer sehingga karyanya bernilai tinggi. Hal ini akan membangkitkan kembali kerajinan kain tradisional di daerah,” kata penasihat IFC Medan, Saurma MGP Siahaan.
Saurma mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak para perancang busana menggunakan kain tradisional atau motifnya sebagai bahan busana. Minat para konsumen terhadap busana modern berbahan kain tradisional juga semakin tinggi.
Dalam acara tersebut, berbagai karya berbahan kain tradisional ditampilkan para perancang busana. Nilawaty Iskandar menampilkan busana bertema ”The Beauty of North Sumatera”. Ia memadukan ulos dan songket Sumut dalam karya busananya. ”Keindahan Sumut tampil dalam perpaduan songket dan ulos,” kata Nilawaty, yang juga pemimpin Dolling School of Fashion Design.
Para perancang busana tidak hanya mengangkat kain tradisional, tetapi juga keseniannya. Luciana Kosidin terpesona pada motif ukiran dinding rumah adat Batak Toba yang biasa disebut gorga. Ukiran gorga yang mempunyai banyak ragam dengan arti berbeda-beda juga sering ditemui di alat musik Batak.
Untuk desain sebuah gaun dengan kembang di atasan, Luciana memilih motif gorga ulu paung, motif yang biasa ada di puncak rumah Batak, yang bertujuan menolak makhluk jahat masuk ke rumah.
Untuk gaun ibu dan anak, Luciana menerapkan gorga simeoleol yang berarti melenggak-lenggok. ”Gorga ini melambangkan kegembiraan. Semua motif gorga ini penuh pesona,” katanya.
Perancang busana lain, Roulina Gurning, menampilkan busana bertema ”Serenauli” yang berarti emas yang indah. Ia menggunakan detail tenun ulos dalam karyanya.
Vice President IFC Lenny Agustin mengatakan, memakai bahan kain tradisional dalam desain busana akan menumbuhkan kembali rasa cinta masyarakat terhadap kebudayaannya. ”Ini juga menjadi sarana untuk memperkenalkan kekayaan motif kain tradisional kepada generasi muda. Mudah-mudahan dapat melahirkan petenun baru dari generasi muda,” ujarnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut Zonny Waldi mengatakan, penggunaan kain tradisional dalam industri kreatif, seperti busana dan desain interior, memberi semangat baru bagi para petenun. ”Menenun kain tradisional tidak lagi hanya tempat orang yang putus sekolah, tetapi orang yang punya inovasi yang bisa menggerakkan ekonomi di daerah,” katanya.
Menurut Zonny, salah satu tantangan terbesar pelestarian kain tradisional adalah semakin berkurangnya jumlah petenun. Regenerasi para petenun sangat lambat. Sangat sedikit orang muda yang mau memilih jalan menjadi petenun. Semoga industri mode bisa menghidupkan lagi kain tradisional.