Hanya mengandalkan telunjuk saja, di Jakarta orang bisa hidup. “Telunjuk gue tuh, sakti banget. Tinggal tunjuk dan ngacung saja, mau mobil atau sepeda motor semua nurut. Brenti atau jalan ikut kata telunjuk gue,” kata Pak Ogah di ujung sebuah perumahan, di selatan Jakarta.
Sebutan Pak Ogah atau Polisi Cepek itu lazim disematkan kepada mereka yang biasa “mengatur” keluar masuk kendaraan di sebuah perumahan atau di perputaran jalan (U-turn) di jalanan. Profesi Pak Ogah seperti itu lumayan untuk bisa bertahan hidup di Jakarta.
Tidak jarang mereka bekerja seperti layaknya pekerja ”shift-shift”-an atau bergiliran kerja setiap beberapa jam. Satu kendaraan kini biasa mengeluarkan uang Rp 2.000 yang kini menjadi pecahan terkecil yang mudah ditemukan, karena pecahan Rp 500 atau Rp 1.000 makin jarang. Hitung saja berapa rata-rata pendapatan mereka setiap beroperasi. Lebih dari sekadar untuk membeli rokok mereka dapat.
Sudah lama disebutkan, di Jakarta itu kalau mau, apa saja bisa menjadi duit. Pernah suatu saat Kompas bersepeda di sebuah daerah di luar Jawa dan mendapati warga setempat begitu ramah. Keramahan warga itu berbeda 180 derajat dengan saudara mereka yang hidup di Ibu Kota. Selama ini saudara-saudara mereka yang hidup di Ibu Kota itu terkesan angker, dekat dengan premanisme dan tindakan kriminal.
Jika tidak bekerja sebagai pengawal, banyak di antaranya dikenal sebagai debt collector, bodyguard, atau preman. Kenapa bisa bertolak belakang begitu? Menurut seorang tokoh daerah tersebut, kontradiksi itu memang demikian adanya.
“Jadi setiap anak muda yang akan merantau ke Jakarta selalu dibilangin: kamu harus sangar dan galak di sana,” katanya. Hanya orang-orang sangar, berani, dan galak yang akan menang di belantara Ibu Kota. Mereka yang lemah hanya akan berakhir menjadi orang yang kalah.
Nekat, kreatif, ulet, liat dan berani (malu) pun menjadi kunci bagi sebagian perantau ke Ibu Kota. Tidak heran jika kemudian, para pedagang kaki lima yang berdagang di trotoar atau tempat yang tidak semestinya, tidak akan mempan dengan papan larangan. Begitu juga pengojek daring terus bergerombol di tempat yang dianggap gampang mendatangkan pembeli atau pelanggan.
Mungkin sesaat akan tertib, tertata dan bersih saat Satpol PP melakukan operasi penertiban. Selebihnya mereka kembali berdagang di tempat semula. Pemprov DKI yang terkesan longgar terhadap penegakan peraturan ketertiban juga membuat para pedagang kaki lima meruyak di berbagai tempat.
Sejak zaman Orde Baru, Jakarta masih ibarat binar-binar lampu yang mengundang laron. Saat musim mudik Lebaran tiba, jutaan penduduknya pergi meninggalkan Ibu Kota. Kota menjadi sepi, jalanan lengang dan bebas kemacetan. Bahkan sejumlah warga, secara demonstratif bisa melakukan berbagai aktivitas dan berfoto dengan berbagai gaya di tengah jalanan yang sehari-hari macet total.
Mereka yang mudik pulang kampung dan memamerkan diri seolah-olah mereka telah sukses hidup di Jakarta. Kota-kota di berbagai daerah mendadak macet dengan mobil-mobil berpelat B (Jakarta), terlepas dari itu mobil sewaan atau kredit. Semua itu ibarat iklan atau promosi bagi mereka yang berada di daerah untuk mengadu nasib di Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghapus Operasi Yustisi yang biasanya rutin diadakan di saat musim arus balik Lebaran. Anies mempersilakan warga daerah datang ke Jakarta untuk mengadu nasib dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Hanya saja mungkin perlu juga dikabarkan ke saudara-saudara kita di daerah. Ibu Kota kini semakin kejam. Walaupun hanya butuh nekat, berani malu dan disebutkan apa saja bisa menjadi duit, Jakarta tidaklah seindah warna aslinya. Sudah saatnya, berdaya di kampung sendiri dan membedayakannya karena juga begitu banyak cerita sukses di daerah dengan segala potensinya.
Di tengah kabar, Ibu Kota akan dipindahkan dari Jakarta, kota metropolitan ini ke depannya belum tentu menarik lagi. Dia tidak perlu lagi menjadi panggung utama di negeri yang demikian luas dan kaya ini.