Asal-usul 5 Benda Berbahan Peledak di Cirebon Masih Misterius
Hingga Minggu (16/6/2019) siang, jajaran Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, masih menelusuri asal-usul lima benda berbahan peledak aktif yang ditemukan di sebuah tempat pembuangan sampah di Kota Cirebon. Benda itu dilaporkan warga pada Sabtu malam kepada polisi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Hingga Minggu (16/6/2019) siang, jajaran Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, masih menelusuri asal-usul lima benda berbahan peledak aktif yang ditemukan di sebuah tempat pembuangan sampah di Kota Cirebon. Benda itu dilaporkan warga pada Sabtu malam kepada polisi.
Berdasarkan keterangan polisi, benda itu pertama kali ditemukan oleh Y, warga Pesisir yang juga pemulung, Sabtu sore, di tempat pembuangan sampah (TPS) di Jalan Sukalila, sekitar 1 kilometer dari Markas Polres Cirebon Kota. Benda itu berupa empat tabung dengan pemantik dan lainnya berbentuk bulat seperti granat yang diletakkan dalam kaleng. Semuanya terbungkus plastik putih.
”Sampai di rumah, Y memperlihatkan benda itu kepada A, temannya. Karena (benda itu) diduga bahan peledak, mereka membawanya ke Polres pada Sabtu sekitar pukul 19.00,” ujar Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy. Benda itu lalu disimpan di bagian depan polres dan dikelilingi garis polisi.
Pihaknya pun memanggil Tim Penjinak Bom Detasemen C Satbrimob Polda Jabar untuk mengamankan benda itu. Berdasarkan foto yang beredar, tampak tulisan ”Grenade” di kaleng penyimpan benda serupa granat. Sementara di permukaan empat tabung lain terlihat nomor 555.
”Menurut informasi tim penjinak bom, bahan peledak di benda itu masih aktif. Jenis dan daya ledaknya masih diidentifikasi,” ujarnya. Pihaknya menyerahkan kepada tim penjinak bom apakah benda itu akan diledakkan atau masih butuh pemeriksaan lanjutan.
Dari identifikasi awal, menurut Roland, kemungkinan benda itu merupakan bahan peledak lama yang tertimbun di tanah, seperti yang terjadi di sejumlah daerah. Benda itu lalu ditemukan warga dan dibuang ke tempat sampah. Terkait dugaan keterlibatan teroris, pihaknya masih mendalaminya.
Pihaknya memastikan, temuan benda tersebut tidak ada kaitannya dengan proses penyelesaian perselisihan hasil pemilu presiden yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi. ”Enggak (ada kaitannya). Itu terlalu jauh,” ucapnya.
Dari pasar
Berdasarkan pantauan, lokasi penemuan benda berbahan peledak itu berada di sisi Kali Sukalila dan depan toko oleh-oleh serta sekitar 250 meter dari Pasar Grosir Cirebon (PGC). Tidak ada garis polisi. Hanya tampak sejumlah pemulung dan petugas kebersihan. Terdapat dua tong sampah besar berwarna coklat dan hijau.
Sudirman (54), penjaga TPS, membenarkan, benda berbahan peledak itu ditemukan Y pada Sabtu sore saat memulung. Setiap hari, aneka sampah rumah tangga, seperti plastik dan kaleng, tiba di TPS pukul 13.00 dan 14.00. ”Sampahnya dari PGC. Ada petugas yang bawa ke sini,” ujarnya.
Menurut dia, ada tiga pemulung, termasuk Y, yang kerap memilah sampah di TPS itu untuk dijual. Setiap dua hari sekali, sampah yang sudah menumpuk akan diangkut ke TPA Kopi Luhur pukul 20.00 hingga 03.00. ”Y baru sekitar tiga hari memulung di sini. Dia diminta oleh K, penjual rongsok yang sudah lama di sini,” ujarnya.
Sudirman sudah tiga tahun menjaga TPS itu. Ia bahkan tidur di dekat TPS dengan beralaskan bangku kayu. Saat malam, TPS itu dikunci gembok. Ketika polisi memeriksa TPS, warga Surakarta, Kabupaten Cirebon, itu tengah beristirahat.
”Sebelum benda itu ditemukan, enggak ada orang lain yang datang ke sini,” ujarnya. Ia khawatir dan panik saat mengetahui ada benda berbahan peledak di tempatnya bekerja.
Toto (76), pemulung di sekitar TPS, juga tidak melihat orang yang mencurigakan datang ke TPS sebelum penemuan benda itu. ”Saya 24 jam di sini. Tidak ada orang lain. Semua yang datang sudah dikenal,” katanya.
Pegiat sejarah Cirebon, Mustakim Asteja, mengatakan, butuh penelusuran lebih jauh apakah benda berbahan peledak tersebut merupakan peninggalan masa penjajahan atau tidak. ”Cirebon pernah dibombardir saat agresi Belanda pada 1947-1949,” ungkapnya.
Cirebon pernah dibombardir saat agresi Belanda pada 1947-1949.
Terkait penemuan benda berbahan peledak itu, Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat mendorong polisi mengungkap jenis bom dan asal-usulnya. Ia juga meminta masyarakat waspada dan tidak terprovokasi oleh oknum tidak bertanggung jawab yang ingin Cirebon tidak aman. ”Kita ini cinta damai, cinta Indonesia, dan antikekerasan,” ucapnya.
Dalam catatan Kompas, aksi teror beberapa kali melanda kota seluas 37 kilometer persegi itu. Pada akhir Februari 2010, bungkusan plastik berisi bom rakitan ditemukan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dekat Keraton Kasepuhan. Beruntung, bom itu segera diamankan polisi.
Pada April 2011, terjadi bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikro di lingkungan Polres Cirebon Kota. Selain menewaskan pelaku, peristiwa itu juga melukai 28 orang yang sedang menunaikan shalat Jumat.
Marzuki Wahid dalam bukunya, Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon (2017), mencatat, 28 warga Cirebon dan sekitarnya menjadi terduga teroris sejak 2011 hingga 2018. Kondisi itu, menurut dia, menunjukkan bahwa Cirebon termasuk daerah darurat radikalisme.
Untuk itu, Marzuki mendorong berbagai pihak untuk menguatkan khitah Cirebon sebagai kota toleran atau madinah at-tasamuh. Berabad-abad silam, Cirebon menjadi tempat tinggal bagi beragam suku dan kepercayaan, mulai dari Islam, Kristen, Khonghucu, hingga Sunda Wiwitan. Bahkan, Cirebon berasal dari kata sarumban yang berarti percampuran penduduk.