[caption id="attachment_10511568" align="alignnone" width="720"] Perahu melintasi kanal utama pada perusahaan hutan tanaman industri PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI), 18 Maret 2019. Konsesi yang berada di Kalimantan Barat ini dinilai menjadi contoh baik pengelolaan gambut bagi perusahaan HTI lain.[/caption]
JAKARTA, KOMPAS – Implikasi peraturan mengenai penetapan dan pengelolaan puncak kubah gambut menyebabkan perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan yang berada di areal gambut untuk berbenah. Mereka diwajibkan menyusun revisi rencana kerja usaha baru yang menyesuaikan keberadaan puncak kubah gambut.
Namun sebelum menuju ke situ, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama pemegang izin konsesi bersama-sama mengecek peta fungsi ekosistem gambut (FEG) untuk mengetahui lokasi puncak kubah gambut. Dari lokasi-lokasi ini, sistem hidrologi kawasan tersebut dianalisa untuk memastikan pengelolaan gambut tetap menjaga keberadaan air setiap saat.
“Untuk (izin konsesi) hutan tanaman industri sudah 23-24 unit selesai peta terkoreksinya. Harapan kami minggu-minggu ini selesai 45 unit sehingga Juni-Juli bisa selesai semua,” kata MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan KLHK, Jumat (14/6/2019) di Jakarta.
Menurut Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, terdapat 99 izin usaha pemanfaatan hasil hutan – hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) yang berada di kesatuan hidrologis gambut di seluruh Indonesia. Luasan IUPHHK-HTI mencapai 5,6 juta ha dengan 2,1 juta ha pada fungsi lindung ekosistem gambut.
Peta terkoreksi itu menjadi modal perusahaan untuk menyusun revisi rencana kerja usaha (RKU). Harapannya, dalam praktik pengelolaan gambut seperti yang tertuang dalam RKU, perusahaan-perusahaan melindungi puncak kubah gambut yang menjadi “menara air” bagi satu kesatuan hidrologis gambut (KHG).
Karliansyah mengakui, perlindungan pada puncak kubah gambut ini merupakan inisiatif dalam perlindungan sumber air pada gambut. Padahal, bila mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 yang digantikan PP 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pemegang izin masih boleh beroperasi di fungsi lindung hingga izin berakhir, dengan menjaga fungsi hidrologisnya.
Hal ini pernah menjadi “blunder” ketika KLHK mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 17 tahun 2017 yang memperketat batasan masa beroperasi HTI di fungsi lindung gambut hingga satu kali panen (5-6 tahun). Peraturan itu dibatalkan Mahkamah Agung setelah diajukan uji materi.
“Kita ngomong ke mereka (pemegang izin), tolong dong puncak kubah jangan (dibuka), karena itu sumber air. Sekarang ini terkoreksi agar kubah masuk peta. Kami minta lebih dari PP,” katanya. Aturan ini dituangkan dalam Permenlhk No 10 tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (P10).
Kita ngomong ke mereka (pemegang izin), tolong dong puncak kubah jangan (dibuka), karena itu sumber air. Sekarang ini terkoreksi agar kubah masuk peta. Kami minta lebih dari PP.
Tetap dilindungi
Karliansyah menjelaskan bila dalam satu hamparan konsesi terdapat lebih dari dua puncak kubah gambut, satu puncak kubah gambut agar tetap dilindungi dan puncak lain bisa dimanfaatkan. Persyaratannya, puncak kubah yang dilindungi tersebut bisa menjaga pasokan air atau menggantikan fungsi puncak kubah gambu tlain. Metode analisa, menurut P10, menggunakan perhitungan neraca air metode Darcy.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto mengiyakan bila sebagian perusahaan HTI dalam proses penerbitan peta FEG terkoreksi. “Saya belum ada data jumlahnya. Yang pasti, perusahaan tersebut sudah harus memenuhi persyaratan utama antara lain dokumen pemulihan ekosistem gambut telah disahkan dan telah menyampaikan data-data faktual FEG yang sudah diverifikasi oleh KLHK,” ungkapnya.
Ia mengatakan APHI mengapresiasi penerbitan P10 yang memberikan penjabaran pasal 45 Peralihan PP 71 tahun 2014 jo PP 57 / 2016. Pada dasarnya, izin usaha yang sudah beroperasi dan berada dalam Fungsi Lindung Ekosistem Gambut, yang terbit sebelum PP tersebut, tetap berlaku sampai berlakunya izin. Dengan syarat, pemegang izin menjaga fungsi hidrologis ekosistem gambut. Koridor inilah yang diatur dalam P10.
“P10 tersebut kami harapkan memberikan kepastian keberlangsungan usaha terhadap izin-izin HTI yang memanfaatkan budidaya di lahan gambut, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 45 Peralihan PP 71 jo PP 57, dengan tetap menjaga keseimbangan fungsi hidrologis gambut,” ujarnya.