Sering Olahraga dan Atur Pola Makan untuk Atasi Kegemukan
Gerakan masyarakat (germas) hidup sehat dijabarkan dalam beberapa langkah, yakni cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dengan kalori seimbang, istirahat cukup, dan kelola stres.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·6 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Kegemukan menjadi salah satu pemicu berbagai penyakit degeneratif. Salah satu upaya untuk menghindarinya adalah dengan menanamkan budaya berolahraga sejak dini sebagaimana ditemui di Alun-alun Selatan Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Kegemukan menjadi ancaman bagi segala usia, mulai dari anak-anak sampai usia lanjut. Gaya hidup modern yang cenderung lebih banyak mengonsumsi makan makanan cepat saji serta kurangnya aktivitas fisik semakin memicu peningkatan angka kegemukan pada masyarakat.
Jumlah orang dengan kegemukan pun tercatat terus melonjak. Perubahan perilaku harus segera dibangun karena kegemukan bisa menjadi pintu masuk berbagai penyakit yang berbahaya. Masalah kegemukan ini harus dihadapi secara serius karena dampaknya dapat mengancam pembangunan bangsa di masa depan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 1 di antara 3 orang mengalami kelebihan berat badan dan 1 di antara 10 orang menderita obesitas. Pada 2016 tercatat, jumlah orang dengan kelebihan berat badan dan obesitas naik tiga kali lipat selama 40 tahun, yakni menjadi 1,9 miliar pada usia dewasa, 41 juta anak balita, dan 340 juta pada anak serta remaja.
Kenaikan jumlah masyarakat dengan kegemukan juga terjadi di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi kegemukan di Indonesia untuk usia 18 tahun ke atas meningkat pada perempuan dan laki-laki. Prevalensi kegemukan pada laki-laki sebesar 19,7 persen pada 2013 dan meningkat menjadi 26,6 persen pada 2018. Pada perempuan, prevalensi kegemukan pada 2013 sebesar 32,9 persen menjadi 44,4 persen pada 2018.
Prevalensi kegemukan juga terjadi pada usia anak dan remaja. Secara berturut-turut, prevalensi meningkat dari 8,6 persen (2007), menjadi 11,5 persen (2013) dan 13,6 persen (2018). Kegemukan di usia dini cenderung akan berlanjut sampai usia dewasa.
Hasil systematic review pola makan penduduk Asia Pasifik melaporkan, dari 51,6 persen penelitian didapatkan kegemukan berkaitan dengan faktor makanan, diikuti oleh aktivitas fisik (12,9 persen) dan menonton televisi (9,68 persen).
”Tindakan pencegahan (kegemukan) mendesak untuk dimulai dari individu dan membutuhkan dukungan pihak kesehatan melalui kebijakan yang terkait dengan perbaikan gaya hidup,” ujar Peneliti Ahli Utama Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Julianty Pradono, saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan profesor riset di Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Era modern saat ini dinilai juga memengaruhi pola hidup yang dijalankan masyarakat. Minimnya aktivitas fisik serta kebiasaan yang cenderung serba instan mendominasi dalam keseharian. Transportasi daring yang mengantar dari depan tempat penjemputan sampai depan tempat tujuan menjadi contoh konkret. Selain itu, kebiasaan instan lainnya adalah penyediaan dan pemilihan makanan cepat saji yang biasanya tinggi garam, gula, dan lemak, serta rendah serat.
KEMENTRIAN KESEHATAN
Infografik Kegemukan
Dari penelitian yang dilakukan Julianty di SMA dan SMK di Gorontalo, konsumsi makanan cepat saji lebih dari tiga kali setiap minggu. Kebiasaan ini bisa berisiko 1,8 kali terjadinya obesitas pada remaja. Selain itu, konsumsi makanan berlemak lebih dari 60 gram per hari dapat berisiko 1,3 kali mengalami kegemukan dibandingkan konsumsi lemak di bawah 60 gram per hari.
Penyebab utama kegemukan lainnya, yakni kurangnya aktivitas fisik. Pada dasarnya, kegemukan terjadi karena asupan energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan energi yang dikeluarkan melalui aktivitas fisik. Pada Riskesdas 2018, sekitar 70 persen anak usia 10-14 tahun kurang aktivitas fisik. Secara keseluruhan, hanya 66,5 persen angka kecukupan aktivitas fisik pada masyarakat atau satu dari tiga penduduk belum melakukan aktivitas fisik.
Penyakit tidak menular
Tingginya jumlah penduduk yang mengalami kegemukan menjadi alarm untuk segera merubah perilaku masyarakat secara masif. Berbagai penelitian telah membuktikan, kegemukan menjadi faktor risiko berbagai penyakit yang bisa mengancam pembangunan bangsa.
Pada 2007, masyarakat Indonesia dengan usia 15 tahun ke atas didapatkan memiliki prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 7,3 persen pada kondisi kelebihan berat badan, 9,1 persen pada obesitas, dan hanya 4,4 persen pada berat badan normal.
Peneliti Ahli Utama Balitbangkes Kementerian Kesehatan, Laurentia K Mihardja saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan profesor riset mengatakan, penderita obesitas berisiko 1,9 kali mengalami diabetes melitus dibanding orang dengan berat badan normal. Sementara, diabetes melitus sendiri merupakan faktor risiko dari penyakit jantung koroner. Pada kelompok kegemukan usia muda, antara 19 tahun dan 29 tahun juga didapatkan berisiko hiperglikemia atau gula darah tinggi sebesar 1,8 kali lebih besar dibandingkan kelompok dengan berat badan normal.
Selain diabetes, kegemukan juga menjadi faktor risiko hipertensi. Pada 2007, masyarakat usia 15 tahun ke atas yang memiliki obesitas sentral (lingkar pinggang lebih dari 90 sentimeter pada laki-laki dan lebih dari 80 sentimeter pada perempuan) berisiko 1,6 kali di banding yang tidak. Hasil studi kohor (2016) juga menyebutkan adanya pengaruh jenis kelamin dengan hipertensi. Perempuan kegemukan mempunyai risiko lebih tinggi terkena hipertensi yaitu 1,84 kali, sedangkan pada laki-laki kegemukan berisiko 1,69 kali.
Jika sudah mengalami hipertensi dan diabetes melitus (DM), risiko komplikasi berbagai penyakit kronis lain yang lebih berbahaya semakin besar. DM dengan komplikasi dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan menurunkan kualitas kehidupan. Komplikasi menahun akibat DM adalah penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal, ulkus diabetikum (gangguan saraf), dan kebutaan.
Penyakit ini semakin berisiko dialami masyarakat Indonesia karena kebiasaan merokok yang dilakukan. Pada 2018, tercatat 2-3 orang dari 10 orang berusia 10 tahun ke atas telah merokok. Perokok aktif berisiko mengalami DM dua sampai tiga kali lipat dari yang tidak merokok. Bagi perokok pasif pun risiko DM bisa mencapai dua sampai tiga kali lipat dari yang tidak.
Gerakan masyarakat
Pencegahan kegemukan sejak dini merupakan cara efektif untuk menekan berbagai risiko penyakit tidak menular di masyarakat. Perubahan perilaku pada tingkat individu dengan mengoptimalkan gerakan di lingkup masyarakat bisa menjadi kunci utama pencegahan. Perubahan perilaku ini bisa dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan serta pendekatan interpersonal.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, yang ditemui beberapa hari lalu di kantor Kementerian Kesehatan, menyatakan, pemerintah telah berupaya menurunkan risiko penyakit tidak menular lewat berbagai program, di antaranya gerakan masyarakat hidup sehat, program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK), pelatihan untuk para kader kesehatan dalam penyuluhan gaya hidup sehat.
Gerakan masyarakat (germas) hidup sehat dijabarkan dalam beberapa langkah, yakni cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dengan kalori seimbang, istirahat cukup, dan kelola stres.
”Germas ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat dengan kesadaran dan kemauan untuk meningkatkan kualitas hidup. Masyarakat Indonesia jumlahnya sangat besar, geografisnya pun sangat luas untuk itu pemerintah tidak boleh lelah mengalakkan gerakan ini,” ujarnya.
Penerapan PIS-PK pun perlu digalakkan untuk semua anggota keluarga. Para kader kesehatan perlu memberikan penyuluhan gizi dan gaya hidup sehat lebih masif kepada remaja dan ibu. Puskesmas pun perlu mengontrol, membina dan meningkatkan fungsi dan kegiatan posyandu, UKS, germas, dan PIS-PK.
KEMENTRIAN KESEHATAN
Infografik Kegemukan
Pencegahan kegemukan sejak dini bisa dilakukan dari masa kehamilan. Ibu hamil harus mengontrol berat badan jangan sampai berlebihan. Program kesehatan anak prasekolah dan sekolah juga perlu ditingkatkan. Intervensi pola hidup sehat bisa dilakukan melalui peran orangtua dan guru lewat program usaha kesehatan sekolah. Pemerintah daerah pun perlu mendukung melalui penyediaan fasilitas olahraga untuk meningkatkan aktivitas fisik warganya.
Perubahan perilaku pada setiap individu masyarkat Indonesia memang tidak mudah. Namun, realitas yang ada memperlihatkan konsumsi makan yang tidak dikontrol, kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, serta kurangnya konsumsi sayur dan buah menjadi profil sebagian besar masyarakat. Kerja sama dan kolaborasi serta komitmen semua pihak semakin dituntut. Jika kesadaran masyarakat untuk hidup sehat tidak juga terbentuk, bencana kesehatan bisa terjadi.