Kelabui Petugas Lapas, Setya Novanto Lakukan Pelanggaran Berat
erpidana kasus korupsi, Setya Novanto yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat dinilai melakukan pelanggaran berat menyalahgunakan izin berobat yang diberikan pihak lapas. Pemindahan Novanto ke sel isolasi di Lapas Gunung Sindur untuk memberikan efek jera.
Oleh
Samuel Oktora
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Terpidana kasus korupsi Setya Novanto yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, dinilai melakukan pelanggaran berat menyalahgunakan izin berobat yang diberikan pihak lapas. Pemindahan Novanto ke sel isolasi di Lapas Gunung Sindur untuk memberikan efek jera.
Novanto sebelumnya mendapat izin untuk berobat ke Santosa Hospital Bandung Central (SHBC), Bandung, Selasa (11/6/2019). Bekas Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar ini mengeluhkan sakit pada bahu kirinya yang tidak bisa digerakkan.
Dokter rumah sakit menyarankan Novanto menjalani rawat inap hingga Jumat (14/6/2019). Namun, ketika tiba saatnya diperbolehkan kembali ke lapas, Novanto melakukan ”kucing-kucingan” dengan petugas lapas yang mengawalnya dengan keluar rumah sakit beberapa saat. Selanjutnya, viral di media sosial, foto Novanto bersama istrinya di sebuah toko bangunan di kawasan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
”Setya Novanto telah melakukan pelanggaran berat dengan mengelabui petugas lapas yang mengawalnya. Yang bersangkutan meninggalkan rumah sakit sekitar pukul 13.45 tanpa pengawalan, lalu baru kembali lagi ke rumah sakit pukul 17.45,” kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jabar Liberti Sitinjak di Bandung, Sabtu (15/6/2019).
Yang bersangkutan meninggalkan rumah sakit sekitar pukul 13.45 tanpa pengawalan, lalu baru kembali lagi ke rumah sakit pukul 17.45.
Atas perbuatan Novanto itu, pihak Kanwil Kemenkumham Jabar memindahkan yang bersangkutan ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jabar, yang merupakan lapas risiko tinggi (high risk) berpengamanan maksimum.
Di wilayah Jawa terdapat tiga LP berpengamanan maksimum, yakni LP Pasir Putih di Nusakambangan, Jawa Tengah; LP Batu di Nusakambangan, Jateng; dan LP Gunung Sindur. Napi di lapas ini diisolasi dan menempati satu sel khusus. Penghuni di dalamnya di antaranya napi terorisme.
Pada 24 April 2018, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Novanto dalam perkara korupsi pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2012 dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, pencabutan hak politik, dan kewajiban membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS. Komisi Pemberantasan Korupsi mengeksekusi Novanto ke Lapas Sukamiskin tanggal 4 Mei 2018.
Liberti menuturkan, dirinya didampingi Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kanwil Kemenkumham Jabar Abdul Haris sempat meninjau Novanto saat perawatan di rumah sakit di lantai 8 pada Rabu (12/6/2019).
”Saya sudah sampaikan kepada yang bersangkutan (Novanto) agar kesempatan berobat ini digunakan sebaik-baiknya untuk menjalani perawatan, bukan untuk hal-hal lain,” ujar Liberti.
Saya sudah sampaikan kepada yang bersangkutan (Novanto) agar kesempatan berobat ini digunakan sebaik-baiknya untuk menjalani perawatan, bukan untuk hal-hal lain.
Namun, setelah diperbolehkan pulang oleh dokter, Novanto kemudian memberitahukan kepada dua petugas lapas yang mengawalnya untuk mengurus sebentar administrasi biaya rumah sakit di lantai 3. Petugas lapas tak ikut mengawal Novanto ke lantai 3.
Ketika ditunggu beberapa saat Novanto tak juga kembali ke lantai 8, petugas lapas lalu mengecek ke lantai 3 dan ternyata Novanto sudah tidak berada di rumah sakit.
Novanto baru kembali ke rumah sakit sekitar pukul 17.45 dan kemudian menuju ke Lapas Sukamiskin pukul 19.00. Pihak Kanwil Kemenkumham Jabar lalu memindahkan Novanto ke Lapas Gunung Sindur sekitar pukul 22.30.
Efek jera
”Pemindahan ke LP Gunung Sindur ini sebagai upaya memberikan efek jera kepada Novanto ataupun napi lain supaya menaati aturan. Sikap dan perilaku Novanto akan dievaluasi,” kata Abdul Haris.
Menurut Haris, pemeriksaan telah dilakukan pada dua pegawai lapas yang mengawal Novanto dan mereka mengakui kesalahannya. Adapun Novanto baru dilakukan pemeriksaan intensif, Sabtu. ”Mereka akan dikenai sanksi,” ujarnya.
Kasus penyalahgunaan izin berobat pada napi di lingkungan Lapas Sukamiskin sudah terjadi kesekian kalinya, termasuk dalam jual beli fasilitas kamar dan sejumlah keistimewaan lain.
Kasus terakhir yang terungkap terkait mantan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen yang terkena operasi tangkap tangan KPK tanggal 21 Juli 2018. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 4 bulan kurungan kepada Husen yang dinilai menerima suap terkait pemberian fasilitas mewah dan izin keluar lapas, 8 April 2019.
Husen telah menerima suap dari tiga napi, yakni Fahmi Darmawansyah, Tubagus Chaeri Wardana, dan Fuad Amin. Husen antara lain menerima satu Mitsubishi Triton juga uang tunai lebih kurang Rp 190 juta.
Direktur Program Center for Detention Studies Gatot Goei berpendapat, pemindahan Novanto ke Lapas Gunung Sindur merupakan upaya penanganan jangka pendek. Dalam jangka panjang, guna mencegah kasus semacam ini terulang kembali, napi koruptor perlu ditempatkan di lapas berpengamanan maksimum.
Pasalnya, bagi petugas LP level bawah atau pelaksana dalam posisi dilema, bahkan juga dalam tekanan. Menghadapi orang-orang berlatar belakang politik, seperti Setya Novanto yang mempunyai pengaruh sosial politik kuat, cenderung mudah untuk mendapat izin dari atas.
”Petugas LP menjadi sulit bersikap tegas. Napi-napi korupsi ini sebaiknya ditempatkan di lapas berpengamanan maksimum yang aturannya sangat ketat,” kata Gatot.
Petugas LP menjadi sulit bersikap tegas. Napi-napi korupsi ini sebaiknya ditempatkan di lapas berpengamanan maksimum yang aturannya sangat ketat.
Sementara itu, dosen hukum pidana Universitas Padjadjaran, Tajudin, menuturkan, sistem pengawalan dari lapas untuk izin berobat napi perlu dibenahi.
”Akar masalahnya harus dicari. Salah satunya terkait SOP (standard operating procedure) sejauh ini seperti apa, apakah memang sudah bagus tetapi pengawasan di lapangan yang lemah, atau memang SOP belum lengkap. Namun, dalam kejadian seperti ini juga bukan sepenuhnya terkait lemahnya pengawasan, melainkan juga diri pelaku (napi) ikut andil tidak taat pada aturan,” ujar Tajudin.