Boris Johnson Yakin Brexit Terwujud Sesuai Rencana
Kandidat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meyakini Brexit dapat terwujud sesuai tenggat waktu, yaitu 31 Oktober 2019. Pernyataan Johnson mengindikasikan Inggris kemungkinan besar keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
LONDON, SABTU — Kandidat Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, meyakini Brexit dapat terwujud sesuai tenggat, yaitu 31 Oktober 2019. Pernyataan Johnson mengindikasikan Inggris kemungkinan besar keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Johnson merupakan salah satu kandidat Perdana Menteri Inggris favorit dari Partai Konservatif yang sedang berkampanye untuk menggantikan Theresa May. May baru saja mengundurkan diri setelah gagal memperoleh persetujuan parlemen atas kesepakatan Brexit.
”Kita (Inggris) harus keluar pada 31 Oktober 2019. Jika kita tidak menunjukkan ketabahan dan tekad, kita tidak dapat meyakinkan Brussels mengenai kesepakatan yang ingin kita lakukan,” kata Johnson, yang merupakan mantan Menteri Luar Negeri Inggris, kepada kepada radio BBC, Jumat (14/6/2019).
Menurut Johnson, Brexit akan terwujud ketika Inggris menyatakan kepada Brussels dengan jelas bahwa Inggris bisa keluar tanpa kesepakatan apa pun. Oleh karena itu, ia tidak akan menyerah dan mengajukan penundaan jika Inggris tidak memperoleh kesepakatan sebelum tenggat yang ditentukan.
Kesepakatan yang dimaksudkan adalah kesepakatan antara Inggris dan Uni Eropa. Beberapa materi kesepakatan yang dibahas antara lain periode transisi keluarnya Inggris, perbatasan Irlandia, kepabeanan, pasar keuangan, dan biaya keluarnya Inggris.
Johnson juga menyatakan Inggris perlu menahan pembayaran kepada UE. May sebelumnya setuju membayar UE sebesar 56 miliar dollar AS kepada UE untuk memperoleh kesepakatan yang lebih baik.
Kendati demikian, Johnson juga tidak menampik untuk sedikit terbuka dengan peluang bahwa ia dapat menunda Brexit dalam jangka waktu pendek jika kompromi kedua pihak terlihat memungkinkan.
Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond mengatakan, dirinya tidak ingin bekerja di bawah pemerintahan seorang perdana menteri yang keluar dari UE tanpa kesepakatan. ”Saya pikir ini bukan mengenai kepribadian, melainkan mengenai kebijakan. Sebelum bertugas, saya ingin melihat pada kebijakan yang diambil oleh Perdana Menteri lebih dulu,” katanya.
Hammond juga mengimbau agar siapa pun perdana menteri yang baru segera membayar dana kewajiban kepada UE yang sebelumnya dijanjikan May karena Inggris adalah negara yang bertanggung jawab. Dana tersebut, tuturnya, merupakan kewajiban yang diatur dalam anggaran UE.
Sejumlah politisi Inggris berpendapat bahwa jika Inggris keluar tanpa kesepakatan, Inggris dan UE dapat berdagang tanpa dikenai tarif. Mereka merujuk Pasal 24 dalam Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan yang dikeluarkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia.
Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom membantah pemikiran tersebut. Menurut dia, pendukung Brexit keliru jika mengira keluar dari UE tanpa kesepakatan dapat menghentikan kenaikan tarif.
”Itu ide yang salah. Mereka harus berdagang dengan kami dan negara lain sehingga akan ada perjanjian dagang—dan kami harap akan ada perjanjian—berdasarkan pada perlakuan yang sama. Dan itu berarti ada tarif baru,” kata Malmstrom.
Isuperbatasan
Johnson juga berencana mendesak agar 27 pemimpin negara anggota UE menyetujui rencana pemeriksaan barang dilakukan jauh dari perbatasan dua Irlandia. Selain itu, pemeriksaan dilakukan menggunakan teknologi canggih.
Solusi Johnson dalam mengatasi krisis Brexit tersebut merupakan rencana yang telah ditolak berkali-kali oleh Brussels pada masa lalu.
Pejabat UE berargumen bahwa perbatasan menghadapi kekurangan peralatan dan dukungan teknologi untuk menangani volume perdagangan tanpa melakukan pengecekan fisik.
Tokoh mana pun yang mewarisi jabatan Theresa May sebagai Perdana Menteri Inggris akan menghadapi tugas untuk menyelesaikan Brexit, yaitu rencana keluarnya Inggris dari UE.
Seperti yang diwartakan sebelumnya, May gagal untuk menyelesaikan Brexit melalui tiga proposal yang ditawarkan sehingga akhirnya ditekan untuk mundur. Salah satu poin yang menjadi hambatan adalah isu perbatasan Irlandia Utara (wilayah Inggris) dan Republik Irlandia.
Perjanjian Jumat Agung menyepakati tidak ada halangan perbatasan di antara kedua wilayah itu. Ketika Inggris keluar, Irlandia Utara akan tertutup bagi UE. Sementara UE menginginkan agar tidak ada pemeriksaan di perbatasan itu karena Irlandia masih menjadi bagian dari UE. Untuk itu, Brussels menyarankan agar hukum UE tetap berlaku di Irlandia Utara. (AFP/REUTERS)