”Bancassurance”, Jawaban Lesunya Industri Asuransi
PT Asuransi Allianz Life Indonesia mampu meraih pertumbuhan pendapatan premi dan laba bersih. Pencapaian di tengah sulitnya industri asuransi terjadi lewat kerja sama dengan bank melalui bancassurance.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Asuransi Allianz Life Indonesia mampu meraih pertumbuhan pendapatan premi dan laba bersih. Pencapaian di tengah sulitnya industri asuransi terjadi lewat kerja sama dengan bank melalui bancassurance. Model ini dapat diadopsi perusahaan asuransi lain untuk mencapai pertumbuhan positif tahun ini.
Hasil kinerja tahun 2018, Allianz meraih pendapatan premi Rp 9,9 triliun atau tumbuh 5,2 persen secara tahunan. Mereka membukukan laba bersih mencapai Rp 792 miliar atau meningkat 152 persen secara tahunan.
Catatan Allianz sangat positif di tengah lesunya industri asuransi pada 2018. Tahun lalu, industri asuransi jiwa rugi Rp 2,1 triliun, anjlok dari 2017 yang mencatatkan laba Rp 11,1 triliun. Pendapatan premi juga turun 5 persen secara tahunan menjadi Rp 185,8 triliun.
Country Manager & Direktur Utama Allianz Life Indonesia Joos Louwerier mengatakan, pertumbuhan premi berasal dari distribusi keagenan dan bancassurance. Adapun bancassurance menjadi kontributor utama perolehan premi dengan komposisi 49,6 persen, melampaui keagenan dengan kontribusi 44,1 persen.
Dari sisi jumlah nasabah, perusahaan mencatat pertumbuhan sebesar 4,7 persen menjadi 600.869 nasabah dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi kesehatan keuangan perusahaan juga terlihat dari tingkat rasio kecukupan modal atau risk-based capital ratio (RBC) yang berada di posisi 328 persen pada akhir 2018.
Menurut Joos, pihaknya akan terus mengupayakan pencarian nasabah baru dalam masa sulit industri asuransi saat ini. Salah satu upaya menjaring nasabah lewat bancassurance yang menjadi kontribusi utama masih akan dilanjutkan pada 2019.
”Kami akan tetap fokus pada tujuan utama kami, yaitu melindungi lebih banyak orang dengan cara meningkatkan jumlah nasabah kami. Kami terus melakukan kerjasama dengan mitra bisnis agar solusi perlindungan semakin mudah diakses, cepat, dan aman,” kata Joos.
Pemanfaatan bancassurance yang memberikan kontribusi naiknya pendapatan premi berhasil menutupi fluktuasi dalam investasi. Akibat dari ketidakjelasan ekonomi global, salah satunya perang dagang Amerika Serikat dengan China, total dana kelolaan Allianz menurun tipis dari Rp 37,9 triliun menjadi Rp 37,3 triliun.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menuturkan, bancassurance memang menjadi salah satu jalan keluar bagi perusahaan asuransi. Pemanfaatan kerja sama dengan bank itu bisa efektif mencari nasabah-nasabah baru yang belum terlindungi sebelumnya. Prospek bancassurance juga menjajikan karena produk yang lebih mudah karena menyatu dengan produk perbankan.
”Untuk itu, perusahaan asuransi perlu menggenjot saluran bancassurance dan menambah penetrasi digital. Cara ini harus dilakukan karena kondisi domestik dan global yang masih menghantui,” ujar Irvan.
Menurut Irvan, iklim investasi pada 2019 masih terimbas ekonomi global karena semakin panasnya perang dagang AS dengan China. Perang dagang tersebut yang membuat hasil investasi industri asuransi anjlok hingga 84,5 persen secara tahunan pada 2018.
Hal itu ditambah dengan pengaruh domestik, yakni suasana tahun politik yang masih berlanjut. Terutama sengketa pemilihan presiden yang saat ini masih berlanjut ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, pelemahan rupiah yang diperkirakan menyentuh Rp 15.000 menjadi salah satu indikasinya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan, tahun lalu memang industri penuh dengan tantangan. Oleh karena itu, wajar saja jika perusahan besar pun kesulitan yang berdampak pada penurunan kinerja.
Namun, AAJI meyakini industri asuransi akan bertumbuh 10- 20 persen pada tahun ini. ”Tahun lalu kan turun, maka para investor melihat harga sudah rendah sehingga saatnya masuk dan membeli,” ujar Togar.
Salah satu pertanda positifnya yakni perbaikan hasil investasi pada triwulan I-2019, yang disebabkan menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan ke posisi 6.000-an.